BY SITI MUTIAH CC: FOR CREDIT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sindrom
Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang
sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama
selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut
sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga
versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM).
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan
gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit
vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat.
Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum
multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena
penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan
respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya :
infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin,
etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat),
fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen,
keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun
sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks
imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan
antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type
hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit
T yang spesifik.
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET)
dierkirakan 2-3%per juta populasi setiaptahundi Eropa dan Amerika Serikat.
Umumnya terdapat pada dewasa.
Di bagian ini setiap tahun terdapat kira-kira 12
pasien, umumnya pada dewas. Hal tersebut berhubungan dengan kausaSSJ yang
biasannya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang
dan belum menurun seperti pada usia lanjut.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang
berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS
dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut
adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN.
Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi,
sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh
blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang
diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk.
Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang
diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat
klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis
kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari
30%
Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari Sindrom Steven-Johnson?
2.
Apa etiologi dari Sindrom Steven-Johnson?
3.
Apa Manifestasi klinis dari Sindrom Steven-Johnson?
4.
Bagaimana Patofisiologi dari Sindrom Steven-Johnson?
5.
Apa Penatalaksanaan medis dari Sindrom Steven-Johnson?
6.
Bagaimana Konsep keperawatan pada M Sindrom Steven-Johnson?
C. TUJUAN PENULISAN
a) Tujuan Umum:
Mahasiswa Dapat Mengetahui
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Sindrom Stevens-Johnson.
b) Tujuan Khusus:
1.
Mahasiswa
Mampu Menjelaskan Konsep Teori Sindrom Stevens-Johnson
2.
Mahasiswa
Mampu Melakukan Pengkajian Pada Pasien Dengan Penyakit Sindrom Stevens-Johnson
3.
Mahasiswa
Mampu Merumuskan Diagnose Keperawatan.
4.
Mahasiswa
Mampu Membuat Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sindrom
Stevens-Johnson
5.
Mahasiswa
Mampu Menerapkan Rencana Yang Akan Di Susun.
bab ii
TINJAUAN PUSTAKA
A.
Konsep Dasar Sindrom Stevens-Johnson.
a. Pengertian
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang
mengenai kulit, selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaaan umum
bervariasi dengan ringan sampai yanng berat. Kelainan pada kulit berupa
eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin arif, 2012)
Stevens-Johnson Syndrome adalah sebuah kondisi mengancam jiwa
yang mempengaruhi kulit di mana kematian
sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini di perkirakan oleh
karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa.
(NANDA, NIC-NOC)
b.
Etiologi
Penyeban utama adalah
alergi obat, lebih dari 50%.sebagian kecil karena infeksi, vaksinas, penyakit
graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Pada penelitian adhi
djuanda selaama 5 tahun(1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah
analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%), dan jamu (13,3%).
Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimokssasol,
dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.
c. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit
hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan
oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini
ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga
sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat
diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan
carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B).
Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia
Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa,
61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi
fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar
suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan
oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat
terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga
terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang
kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ
sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit
T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi
Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen
antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau
jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut,
tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada
beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya
kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan
komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau
kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah
tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan
enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T,
terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen
sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang
diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam
sampai 27 jam untuk terbentuknya.
d. Manifestasi klinik Asfiksia
Sindrom ini jarang
dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan
sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons
sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa
demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini
terlihat adanya trias kelainan berupa :
·
Kelainan kulit
·
Kelainan selaput lendir di orifisium
·
Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit
terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian
memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan
Selaput lender di orifisium
Kelainan di
selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa
vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta
krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering
tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa
dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus.
Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya
pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
Kelainan mata yang sering ialah
konjungtivitis, perdarahan,
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium:
2.
Tidak
ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam
menegakkan diagnosa.
3.
Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah
putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
4.
Determine
renal function and evaluate urine for blood.
5.
Pemeriksaan
elektrolit
6.
Kultur
darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
7.
Pemeriksaan
bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat
dilakukan
8.
Chest
radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
9. Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia
dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.
f. Penatalaksanaan
1. Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi
tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila
keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat.
Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason
intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam
beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan
deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum
membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan
secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari,
deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya
prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari
kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama
pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian
kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada
gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500
mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek
katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti
nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa
(dosis untuk anak tergantung berat badan).
2. Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi
misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi
antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal
misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3. Infus dan
tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan
cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat
menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun.
Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila
terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi
darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang
disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula
ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4. Topikal
Terapi topical untuk lesi di
mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat
diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
1.
Biodata
a.
Identitas klien meliputi nama, umur : sering terjadi pada anak-anak di bawah 3
tahun, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, No register, dan
diagnosa medis.
b. Identitas orang tua yang terdiri
dari : Nama Ayah dan Ibu, usia, pendidikan, pekerjaan/sumber penghasilan,
agama, dan alamat.
c. Identitas saudara kandung meliputi nama, usia,
jenis kelamin, hubungan dengan klien, dan status kesehatan.
2. Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan saat ini juga,
alasan kenapa masuk rumah sakit
3.
Riwayat kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Gejala awal yang muncul pada anak. Bisa demam
tinggi, malaise, nyeri, batuk, pilek, Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi
yang luas, sering didapatkan purpura.
b. Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan
Kemungkinan memakan makanan/minuman yang terkontaminasi, infeksi obat-obatan.
c.
Riwayat kesehatan keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan
dalam keluarga, misalnya ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit
yang sama.
4. Pemberian
Sistem
a.
Aktivitas
Gejala: kelelahan, malaise, kelemahan,
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas biasanya.
Tanda: kelelahan otot. Peningkatan kebutuhan
tidur, soporous sampai koma.
b.
Sirkulasi
Gejala: palpitasi.
Tanda: takikardi, mur-mur jantung. Kulit, membran
mukosa pucat, ruam di seluruh tubuh Defisit saraf kranial dan/atau tanda
perdarahan cerebral.
c. Eliminasi
Gejala: nyeri tekan perianal, nyeri.
d.
Integritas ego
Gejala: perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Tanda: depresi, menarik diri, ansietas, takut,
marah, mudah terangsang.
Perubahan alam perasaan, kacau.
e.
Makanan/cairan
Gejala: kehilangan nafsu makan, anoreksia, mual.
Perubahan rasa/penyimpangan rasa.
Penurunan berat badan.
f.
Neurosensori
Gejala: kurang/penurunan koordinasi. Perubahan
alam perasaan, kacau, disorientasi, ukuran konsisten. Pusing, kesemutan
parastesi.
Tanda: otot mudah terangsang, aktivitas kejang.
g. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: nyeri orbital, sakit kepala, nyeri
tulang/sendi, nyeri tekan sternal, kram otot.
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah,
fokus, pada diri sendiri.
h. Pernapasan
Gejala: napas pendek dengan kerja minimal.
Tanda: dispnea, takipnea, batuk. Gemericik, ronki.
Penurunan bayi napas.
i.
Keamanan
Gejala: riwayat infeksi saat ini/dahulu, jatuh.
Gangguan penglihatan/kerusakan. Perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma
minimal.
Tanda: demam, infeksi. Kemerahan, purpura,
perdarahan retinal, perdarahan gusi, atau epistaksis. Pembesaran nodus limfe,
limpa, atau hati (sehubungan dengan invasi jaringan) Papil edema dan
eksoftalmus.
j. Seksualitas
Gejala: perubahan libido. Perubahan aliran
menstruasi, menoragia.
Lipopren.
2. Diagnosis Keperawatan
1. Nyeri Akut
Berhubungan Dengan proses inflamasi
2. Gangguan pemenuhan
nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
3. Gangguan
integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
4. Kurang pengetahuan
tentang proses penyakit s.d kurang informasi
3. Rencana
No
|
Diagnosa
Keperawatan
|
Perencanaan Keperawatan
|
|
Tujuan dan Kriteria
Hasil
|
Rencana Tindakan
|
||
1.
|
Nyeri Akut
|
Tujuan :
Klien merasa nyaman dan
dapat beradaptasi dengan nyeri.
Kriteria hasil :
·
Nyeri berkurang / hilang
·
Ekpresi muka rileks
·
Pasien mengatakan merasa nyaman
·
Skala 0
|
|
2.
|
Gangguan
pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
|
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi
terpenuhi klien dapat terpenuhi
Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi
Diet yang disediakan
habis
Hasil elektrolit serum
dalam batas normal
|
|
3.
|
Gangguan
integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
|
Tujuan :
Klien : Kerusakan
integritas kulit menunjukan perbaikan dalam
Kriteria hasil :
Tidak ada lesi baru
Lesi lama mengalami
involusi
Tidak ada lesi yang
infekted
|
|
4.
|
Kurang
pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
|
Tujuan :
Pengetahuan klien/keluarga
akan meningkat setelah diberikan penyuluhan kesehatan
Kriteria hasil :
Klien/keluarga mengerti
tentang penyakitnya
Klien/keluarga
kooperatif dalam perawatan /pengobatan
|
|
No comments:
Post a Comment
jangan komen yang aneh-aneh