9/10/2018

MAKALAH Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Sindrom Stevens-Johnson


BY SITI MUTIAH CC: FOR CREDIT
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM).
Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dll.
Etiologi SSJ suit ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan). Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik.
Insiden SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) dierkirakan 2-3%per juta populasi setiaptahundi Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa.
Di bagian ini setiap tahun terdapat kira-kira 12 pasien, umumnya pada dewas. Hal tersebut berhubungan dengan kausaSSJ yang biasannya disebabkan oleh alergi obat. Pada dewasa imunitas telah berkembang dan belum menurun seperti pada usia lanjut.
Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) sejak dahulu dianggap sebagai bentuk eritem multiformis yang berat. Baru-baru ini diajukan bahwa eritema multiformis mayor berbeda dari SJS dan TEN pada dasar penentuan kriteria klinis.Konsep yang diajukan tersebut adalah untuk memisahkan spectrum eritem multiformis dari spectrum SJS/TEN. Eritem multiformis, ditandai oleh lesi target yang umum, terjadi pasca infeksi, sering rekuren namun morbiditasnya rendah. Sedangkan SJS/TEN ditandai oleh blister yang luas dan makulopapular, biasanya terjadi karena reaksi yang diinduksi oleh obat dengan angka morbiditas yang tinggi dan prognosisnya buruk. Dalam konsep ini, SJS dan TEN kemungkinan sama-sama merupakan proses yang diinduksi obat yang berbeda dalam derajat keparahannya. Terdapat 3 derajat klasifikasi yang diajukan :
1. Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%
2. Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%
3. Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

              Dari jumlah kejadian diatas dan kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan penanganan spesifik, penulis tertarik untuk menulis makalah “ Asuhan Keperawatan sindrom steven johnson”.
                                 
B.   RUMUSAN MASALAH
1.         Apa pengertian dari Sindrom Steven-Johnson?
2.         Apa etiologi dari Sindrom Steven-Johnson?
3.         Apa Manifestasi klinis dari Sindrom Steven-Johnson?
4.         Bagaimana Patofisiologi dari Sindrom Steven-Johnson?
5.         Apa Penatalaksanaan medis dari Sindrom Steven-Johnson?
6.         Bagaimana Konsep keperawatan pada M Sindrom Steven-Johnson?
C. TUJUAN PENULISAN

a) Tujuan Umum:
Mahasiswa Dapat Mengetahui Asuhan Keperawatan Pada Pasien Yang Mengalami Sindrom Stevens-Johnson.
b)  Tujuan Khusus:
1.      Mahasiswa Mampu Menjelaskan Konsep Teori Sindrom Stevens-Johnson
2.      Mahasiswa Mampu Melakukan Pengkajian Pada Pasien Dengan Penyakit Sindrom Stevens-Johnson
3.      Mahasiswa Mampu Merumuskan Diagnose Keperawatan.
4.      Mahasiswa Mampu Membuat Rencana Tindakan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Sindrom Stevens-Johnson
5.      Mahasiswa Mampu Menerapkan Rencana Yang Akan Di Susun.















bab ii
TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep  Dasar Sindrom Stevens-Johnson.
 
a. Pengertian 
Sindrom Steven Johnson adalah sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir diorifisium, dan mata dengan keadaaan umum bervariasi dengan ringan sampai yanng berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura. (Muttaqin arif, 2012)
Stevens-Johnson Syndrome  adalah sebuah kondisi mengancam jiwa yang mempengaruhi kulit  di mana kematian sel menyebabkan epidermis terpisah dari dermis. Sindrom ini di perkirakan oleh karena reaksi hipersensitivitas yang mempengaruhi kulit dan membrane mukosa. (NANDA, NIC-NOC)
 
b.  Etiologi
Penyeban utama adalah alergi obat, lebih dari 50%.sebagian kecil karena infeksi, vaksinas, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.
Pada penelitian adhi djuanda selaama 5 tahun(1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%), dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain amoksisilin, kotrimokssasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.




c. Patofisiologi
Stevens-Johnson Syndrome merupakan penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh kompleks imun yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis obat, infeksi virus, dan keganasan. Kokain saat ini ditambahkan dalam daftar obat yang mampu menyebabkan sindroma ini.Hingga sebagian kasus yang terdeteksi, tidak terdapat etiologi spesifik yang dapat diidentifikasi.
Di Asia Timur, sindroma yang disebabkan carbamazepine dan fenitoin dihubungkan erat dengan (alel B*1502 dari HLA-B). Sebuah studi di Eropa menemukan bahwa petanda gen hanya relevan untuk Asia Timur. Berdasarkan dari temuan di Asia, dilakukan penelitian serupa di Eropa, 61% SJS/TEN yang diinduksi allopurinol membawa HLA-B58 (alel B*5801 – frekuensi fenotif di Eropa umumnya 3%), mengindikasikan bahwa resiko alel berbeda antar suku/etnik, lokus HLA-B berhubungan erat dengan gen yang berhubungan.
Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi hipersensitif tipe III dan IV.Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek antigen antibodi yang membentuk mikro-presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem komplemen.Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan jaringan pada organ sasaran (target organ). Reaksi hipersentifitas tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian limfokin dilepaskan sehingga terjadi reaksi radang (Djuanda, 2000: 147) .Reaksi Hipersensitif tipe III.
Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang bersirkulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan sebelah hilir.Antibodi tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi terperangkap dalam jaringan kapilernya.Pada beberapa kasus antigen asing dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya kompleks antigen antibodi ditempat tersebut.Reaksi tipe III mengaktifkan komplemen dan degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler ditempat terjadinya rekasi tersebut.Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzim-enzim sel serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus peradangan berlanjut (Corwin, 2000: 72).
 Reaksi Hipersensitif Tipe IV
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T penghasil Limfokin atau sitotoksik oleh suatu antigen sehingga terjadi penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel ini bersifat lambat (delayed) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam untuk terbentuknya.
















d.   Manifestasi klinik Asfiksia
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia kurang dari 3 tahun. Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya menurun, penderita dapat berespons sampai koma. Mulainya dari penyakit akut dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek, dan nyeri tenggorokan.
Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan berupa :
·                 Kelainan kulit
·                 Kelainan selaput lendir di orifisium
·                 Kelainan mata
1. Kelainan Kulit
Kelainan kulit terdiri atas eritema, papul, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang luas. Dapat juga disertai purpura.
2. Kelainan Selaput lender di orifisium
Kelainan di selaput lendir yang sering ialah pada mukosa mulut, kemudian genital, sedangkan dilubang hidung dan anus jarang ditemukan.
Kelainan berupa vesikal dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk pescudo membran. Di bibir yang sering tampak adalah krusta berwarna hitam yang tebal.
Kelainan di mukosa dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas dan esophagus. Stomatitis ini dapat menyeababkan penderita sukar/tidak dapat menelan. Adanya pseudo membran di faring dapat menimbulkan keluhan sukar bernafas.
3. Kelainan Mata
  Kelainan mata yang sering ialah konjungtivitis, perdarahan,

            e.  Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan laboratorium:
2.      Tidak ada pemeriksaan labor (selain biopsi) yang dapat membantu dokter dalam menegakkan diagnosa.
3.       Pemeriksaan darah lengkap (CBC) dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis nonspesifik. Penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bakterial berat.
4.      Determine renal function and evaluate urine for blood.
5.      Pemeriksaan elektrolit
6.      Kultur darah, urine, dan luka diindikasikan ketika infeksi dicurigai terjadi.
7.      Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan kolonoskopi dapat dilakukan
8.      Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis
9.      Pemeriksaan histopatologi dan imonohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnosa.


f. Penatalaksanaan

1.      Kortikosteroid
Bila keadaan umum baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan prednisone 30-40 mg sehari. Namun bila keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat. Kortikosteroid merupakan tindakan file-saving dan digunakan deksametason intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari.
Umumnya masa kritis diatasi dalam beberapa hari. Pasien steven-Johnson berat harus segera dirawat dan diberikan deksametason 6×5 mg intravena. Setelah masa krisis teratasi, keadaan umum membaik, tidak timbul lesi baru, lesi lama mengalami involusi, dosis diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg. Setelah dosis mencapai 5 mg sehari, deksametason intravena diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednisone yang diberikan keesokan harinya dengan dosis 20 mg sehari, sehari kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Lama pengobatan kira-kira 10 hari.
Seminggu setelah pemberian kortikosteroid dilakukan pemeriksaan elektrolit (K, Na dan Cl). Bila ada gangguan harus diatasi, misalnya bila terjadi hipokalemia diberikan KCL 3 x 500 mg/hari dan diet rendah garam bila terjadi hipermatremia. Untuk mengatasi efek katabolik dari kortikosteroid diberikan diet tinggi protein/anabolik seperti nandrolok dekanoat dan nanadrolon. Fenilpropionat dosis 25-50 mg untuk dewasa (dosis untuk anak tergantung berat badan).
2.      Antibiotik
Untuk mencegah terjadinya infeksi misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian, dapat diberi antibiotic yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas dan bersifat bakteriosidal misalnya gentamisin dengan dosis 2 x 80 mg.
3.      Infus dan tranfusi darah
Pengaturan keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi penting karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi dimulut dan tenggorokan serta kesadaran dapat menurun. Untuk itu dapat diberikan infus misalnya glukosa 5 % dan larutan Darrow. Bila terapi tidak memberi perbaikan dalam 2-3 hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut, terutama pada kasus yang disertai purpura yang luas. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat pula ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg intravena sehari dan hemostatik.
4.      Topikal
Terapi topical untuk lesi di mulut dapat berupa kenalog in orabase. Untuk lesi di kulit yang erosif dapat diberikan sufratulle atau krim sulfadiazine perak.







B.     Konsep Dasar Keperawatan

1.  Pengkajian
1.      Biodata
a.  Identitas klien meliputi nama, umur : sering terjadi pada anak-anak di bawah 3 tahun, alamat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, No register, dan diagnosa medis.
b.  Identitas orang tua yang terdiri dari : Nama Ayah dan Ibu, usia, pendidikan, pekerjaan/sumber penghasilan, agama, dan alamat.
c. Identitas saudara kandung meliputi nama, usia, jenis kelamin, hubungan dengan klien, dan status kesehatan.
2.      Keluhan utama
Keluhan yang dirasakan saat ini juga, alasan kenapa masuk rumah sakit
3.      Riwayat kesehatan
a.    Riwayat Kesehatan Sekarang
Gejala awal yang muncul pada anak. Bisa demam tinggi, malaise, nyeri, batuk, pilek, Kulit eritema, papul, vesikel, bula yang mudah pecah sehingga terjadi erosi yang luas, sering didapatkan purpura.
b.    Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Riwayat kesehatan masa lalu berkaitan dengan Kemungkinan memakan makanan/minuman yang terkontaminasi, infeksi obat-obatan.
c.    Riwayat kesehatan keluarga
Berkaitan erat dengan penyakit keturunan dalam keluarga, misalnya ada anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama.
4.      Pemberian Sistem
a.         Aktivitas
Gejala: kelelahan, malaise, kelemahan, ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas biasanya.
Tanda: kelelahan otot. Peningkatan kebutuhan tidur, soporous sampai koma.
                                    b.         Sirkulasi                       
Gejala: palpitasi.
Tanda: takikardi, mur-mur jantung. Kulit, membran mukosa pucat, ruam di seluruh tubuh Defisit saraf kranial dan/atau tanda perdarahan cerebral.
                                    c.         Eliminasi
                                                Gejala: nyeri tekan perianal, nyeri.
                                    d.        Integritas ego
Gejala: perasaan tak berdaya/tak ada harapan.
Tanda: depresi, menarik diri, ansietas, takut, marah, mudah terangsang.
Perubahan alam perasaan, kacau.
e.         Makanan/cairan
Gejala: kehilangan nafsu makan, anoreksia, mual. Perubahan rasa/penyimpangan rasa.
Penurunan berat badan.

                                    f.          Neurosensori
Gejala: kurang/penurunan koordinasi. Perubahan alam perasaan, kacau, disorientasi, ukuran konsisten. Pusing, kesemutan parastesi.
Tanda: otot mudah terangsang, aktivitas kejang.
                                    g.         Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala: nyeri orbital, sakit kepala, nyeri tulang/sendi, nyeri tekan sternal, kram otot.
Tanda: perilaku berhati-hati/distraksi, gelisah, fokus, pada diri sendiri.
                                    h.         Pernapasan
Gejala: napas pendek dengan kerja minimal.
Tanda: dispnea, takipnea, batuk. Gemericik, ronki. Penurunan bayi napas.
             i.           Keamanan
Gejala: riwayat infeksi saat ini/dahulu, jatuh. Gangguan penglihatan/kerusakan. Perdarahan spontan tak terkontrol dengan trauma minimal.
Tanda: demam, infeksi. Kemerahan, purpura, perdarahan retinal, perdarahan gusi, atau epistaksis. Pembesaran nodus limfe, limpa, atau hati (sehubungan dengan invasi jaringan) Papil edema dan eksoftalmus.


                                    j.         Seksualitas
Gejala: perubahan libido. Perubahan aliran menstruasi, menoragia.
Lipopren.
                       

2.  Diagnosis Keperawatan

1.      Nyeri Akut Berhubungan Dengan proses inflamasi
2.      Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
3.      Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
4.      Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi












3. Rencana

No
Diagnosa
Keperawatan
Perencanaan Keperawatan
Tujuan dan Kriteria Hasil
Rencana Tindakan
1.
Nyeri Akut
Tujuan :
Klien merasa nyaman dan dapat beradaptasi dengan nyeri.
Kriteria hasil :
·         Nyeri berkurang / hilang
·         Ekpresi muka rileks
·         Pasien mengatakan merasa nyaman
·         Skala 0

  1. Berikan kompres dingin
  2. Berikan pakaian yang tipis dari bahan yang menyerap
  3. Hindarkan lesi kulit dari manipulasi dan tekanan
  4. Usahakan pasien bias istirahat 7-8 jam sehari.
  5. Monitor balance cairan
  6. Monitor suhu dan nadi tiap 2 jam
2.
Gangguan pemenuhan nutrisi : Kurang dari kebutuhan tubuh s.d sulit menelan
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi terpenuhi klien dapat terpenuhi

Kriteria hasil :
Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
Diet yang disediakan habis
Hasil elektrolit serum dalam batas normal
  1. Kaji kemampuan klien untuk menelan
  2. Berikan diet cair
  3. Jelaskan pada klien dan keluarga tentang pentingnya nutrisi bagi kesembuhan klien
  4. Monitoring balance cairan
  5. Kaji adanya tanda-tanda dehidrasi dan gangguan elekrolit
  6. K/P kolaborasi untuk pemasangan NGT
3.
Gangguan integritas kulit s.d bula yang mudah pecah
Tujuan :
Klien : Kerusakan integritas kulit menunjukan perbaikan dalam
Kriteria hasil :
Tidak ada lesi baru
Lesi lama mengalami involusi
Tidak ada lesi yang infekted
  1. Kaji tingkat lesi
  2. Hindarkan lesi dari manipulasi dan tekanan
  3. Berikan diet TKTP
  4. Jaga linen dan pakaian tetap kering dan bersih
  5. Berikan terapi topical sesuai dengan program
4.
Kurang pengetahuan tentang proses penyakit s.d kurang informasi
Tujuan :
Pengetahuan klien/keluarga akan meningkat setelah diberikan penyuluhan kesehatan
Kriteria hasil :
Klien/keluarga mengerti tentang penyakitnya
Klien/keluarga kooperatif dalam perawatan /pengobatan
  1. Kaji tingkat pengetahuan klien/ keluarga tentang penyakitnya
  2. Jeslakan proses penyakit dengan bahasa yang sederhana
  3. Jelaskan tentang prosedur perawatan dan pengobatan
  4. Berikan catatan obat-obat yang harus dihindari oleh klien



BAB IV
PENUTUP

A. KESIMPULAN

       Sistem imunitas atau Pertahanan dalam tubuh manusia yang berfungsi melindungi tubuh manusia dari masuknya infeksi baik itu virus, bakteri, protozoa maupun penyakit. Apabila pertahanan tubuh manusia tidak dapat mengenali antigen yang masuk kedalam tubuh maka akan meyebabkan penyakit sistem imun dan hematologi seperti salah satunya Syndrom Steven Johnson atau yang biasanya disebut dengan penyakit kulit yang sangat parah atau akut berat.

       Penyakit ini disebabkan oleh adanya reaksi hipersensitivitas terhadap obat, infeksi virus, bakteri, radiasi, makanan dan sebagainya. Apabila mengalami penyakit ini maka akan mengalami tanda dan gejala seperti adanya eritema, vesikel, bula, selaput lendir orifisium, dan kelainan pada mata.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka penyusun mengambil saran dalam rangka meningkatkan pelayanan asuhan keperawatan. Adapun saran-saran adalah sebagai berikut :

1.      Pasien

Apabila sudah mengetahui dan memahami gejala dari penyakit steven johnson hendaknya segera membawa pasien kerumah sakit agar dapat dilakukan tindakan keperawatan.




 2.      Perawat

Bagi seorang perawat sebaiknya harus memahami dan mengerti baik secara teoritis maupun praktek tentang penyakit steven johnson agar dapat melakukan tindakan keperawatan.





No comments:

Post a Comment

jangan komen yang aneh-aneh