ASUHAN KEPERAWATAN PADA
KLIEN DENGAN BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA
Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Medikal Bedah II
Pada Proses Belajar Mengajar Semester IV
Jurusan Keperawatan Ambon
Disusun
Oleh :
KELOMPOK V :
1. Siti
Mutiah
2. Zenna
E. Nikijuluw
3. Fitri
A. Thomisio
4. Altri
Y Makatita
5. Catur
Kriswanto
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALUKU
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN AMBON
AMBON
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH) atau dalam bahasa umumnya dinyatakan sebagai
pembesaran prostat jinak (PPJ), merupakan suatu penyakit yang biasa terjadi.
Ini di lihat dari frekuensi terjadinya BPH di dunia, di Amerik secara umum dan
di Indonesia secara khususnya.
Di
dunia, diperkirakan bilangan penderita BPH adalah seramai 30 juta, bilangan ini
hanya pada kaum pria kerana wanita tidak mempunyai kalenjar prostat, maka oleh
sebab itu, BPH terjadi hanya pada kaum pria (emedicine,2009).
Jika dilihat secara epidemiologinya, di dunia, dan kita jaraskan menurut
usia, maka dapat di lihat kadar insidensi BPH, pada usia 40-an, kemungkinan
seseorang itu menderita penyakit ini adalah sebesar 40%, dan setelah
meningkatnya usia, yakni dalam rentang usia 60 hingga 70 tahun, persentasenya
meningkat menjadi 50% dan diatas 70 tahun, persen untuk mendapatkannya bisa
sehingga 90% (A.K. Abbas, 2005).
Akan
tetapi, jika di lihat secara histologi penyakit BPH, secara umum membabitkan
20% pria pada usia 40-an, dan meningkat secara dramatis pada pria berusia
60-an, dan 90% pada usia 70 .
Di
indonesia, penyakit pembesaran prostat jinak menjadi urutan kedua setelah
penyakit batu saluran kemih, dan jika dilihat secara umumnya, diperkirakan
hampir 50 persen pria Indonesia yang berusia di atas 50 tahun, dengan kini usia
harapan hidup mencapai 65 tahun ditemukan menderita penyakit PPJ atau BPH ini.
Selanjutnya, 5 persen pria Indonesia sudah masuk ke dalam lingkungan usia di
atas 60 tahun.
Oleh
itu, jika dilihat, dari 200 juta lebih bilangan rakyat indonesia, maka dapat diperkirakan
100 juta adalah pria, dan yang berusia 60 tahun dan ke atas adalah kira-kira
seramai 5 juta, maka dapat secara umumnya dinyatakan bahwa kira-kira 2.5 juta
pria Indonesia menderita penyakit BPH atau PPJ ini. Indonesia kini semakin hari
semakin maju dan dengan berkembangnya sesebuah negara, maka usia harapan hidup
pasti bertambah dengan sarana yang makin maju dan selesa, maka kadar penderita
BPH secara pastinya turut meningkat. (Furqan, 2003) Secara pasti, bilangan
penderita pembesaran prostat jinak belum di dapat, tetapi secara prevalensi di
RS, sebagai contoh jika kita lihat di Palembang, di RS Cipto Mangunkusumo
ditemukan 423 kasus pembesaran prostat jinak yang dirawat selama tiga tahun
(1994-1997) dan di RS Sumber Waras sebanyak 617 kasus dalam periode yang sama
(Ponco Birowo, 2002).
Ini
dapat menunjukkan bahawa kasus BPH adalah antara kasus yang paling mudah dan
banyak ditemukan. Kanker prostat, juga merupakan salah satu penyakit prostat
yang lazim berlaku dan lebih ganas berbanding BPH yang hanya melibatkan
pembesaran jinak daripada prostat. Kenyataan ini adalah berdasarkan bilangan
dan presentase terjadinya kanker prostat di dunia secara umum dan Indonesia
secara khususnya.
Secara umumnya, jika diperhatikan, di dunia, pada 2003, terdapat lebih
kurang 220,900 kasus baru ditemukan, dimana, daripada jumlah ini, 29,000
daripadanya berada di tahap membunuh (A.K. Abbas, 2005) .
Seperti
juga BPH, kanker prostat juga menyerang pria berusia lebih dari 50 dan pada
usia di bawah itu bukan merupakan suatu yang abnormal. Secara khususnya di
Indonesia, menurut (WHO,2008), untuk tahun 2005, insidensi terjadinya kanker
prostat adalah sebesar 12 orang setiap 100,000 orang, yakni yang keempat
setelah kanker saluran napas atas, saluran pencernaan dan hati.
Setelah
secara umum melihat dan mengetahui akan epidemiologi dari kedua penyakit, yakni
BPH dan kanker prostat, penulis tertarik untuk mengetahui dengan lebih dalam
lagi mengenai gambaran penyakit ini terutama berdasarkan gambaran secara
histopalogi memandangkan tiada penelitian khusus yang setakat diketahui oleh
penulis mengenainya dijalankan di Medan.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa
pengertian dari BPH ?
2. Apa
etiologi dari BPH ?
3. Apa
Manifestasi klinis dar BPH ?
4. Bagaimana
Patifisiologi dari BPH ?
5. Apa Pemeriksaan
penunjang dari BPH ?
6. Apa
Penatalaksanaan medis dari BPH ?
7. Bagaimana
Konsep keperawatan pada BPH ?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Untuk
mengetahui pengertian dari BPH ?
2. Untuk
mengetahui etiologi dari BPH ?
3. Untuk
mengetahui manifestasi klinis dar BPH ?
4. Untuk
mengetahui bagaiman patifisiologi dari BPH ?
5. Untuk
mengetahui pemeriksaan penunjang dari BPH ?
6. Untuk
mengetahui penatalaksanaan medis dari BPH ?
7. Untuk
mengetahui bagaimana Konsep keperawatan pada BPH ?
bab ii
pembahasan
BENIGNA PROSTAT HIPERTROPI
A.
Konsep Dasar Penyakit
a. Pengertian
1.
Benigna Prostat
Hiperplasi (BPH) adalah pembesaran
jinak kelenjar prostat,
disebabkan oleh karena
hiperplasi beberapa atau
semua komponen prostat
meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler
yang menyebabkan penyumbatan
uretra pars prostatika
(Lab / UPF Ilmu Bedah
RSUD dr. Sutomo,
1994 : 193).
2.
BPH adalah
pembesaran progresif dari
kelenjar prostat ( secara
umum pada pria
lebih tua dari
50 tahun )
menyebabkan berbagai derajat
obstruksi uretral dan
pembatasan aliran urinarius
( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
b. Etiologi
Penyebab yang
pasti dari terjadinya
BPH sampai sekarang
belum diketahui. Namun
yang pasti kelenjar
prostat sangat tergantung
pada hormon androgen.
Faktor lain yang
erat kaitannya dengan
BPH adalah proses
penuaan Ada beberapa factor
kemungkinan penyebab antara lain :
1).
Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor
androgen menyebabkan epitel
dan stroma dari
kelenjar prostat mengalami
hiperplasi .
2).
Perubahan keseimbangan
hormon estrogen -
testoteron
Pada
proses penuaan pada
pria terjadi peningkatan
hormon estrogen dan
penurunan testosteron yang
mengakibatkan hiperplasi stroma.
3).
Interaksi stroma
- epitel
Peningkatan epidermal
gorwth factor atau
fibroblast growth factor
dan penurunan transforming
growth factor beta
menyebabkan hiperplasi stroma
dan epitel.
4).
Berkurangnya sel
yang mati
Estrogen
yang meningkat menyebabkan
peningkatan lama hidup
stroma dan epitel
dari kelenjar prostat.
5).
Teori sel
stem
Sel
stem yang meningkat
mengakibatkan proliferasi sel
transit (Roger Kirby,
1994 : 38).
c.
Patofisiologi
Menurut syamsu Hidayat dan Wim De Jong adalah Umumnya
gangguan ini terjadi setelah usia pertengahan akibat perubahan hormonal. Bagian
paling dalam prostat membesar dengan terbentuknya adenoma yang tersebar.
Pembesaran
adenoma progresif menekan atau mendesak jaringan prostat yang normal ke kapsula
sejati yang menghasilkan kapsula bedah. Kapsula bedah ini menahan perluasannya
dan adenoma cenderung tumbuh ke dalam menuju lumennya, yang membatasi
pengeluaran urin.
Akhirnya diperlukan peningkatan penekanan untuk
mengosongkan kandung kemih. Serat-serat muskulus destrusor berespon hipertropi,
yang menghasilkan trabekulasi di dalam kandung kemih.Pada beberapa kasus jika
obsruksi keluar terlalu hebat, terjadi dekompensasi kandung kemih menjadi struktur
yang flasid, berdilatasi dan sanggup berkontraksi secara efektif.
Karena terdapat sisi urin, maka terdapat peningkatan
infeksi dan batu kandung kemih. Peningkatan tekanan balik dapat menyebabkan
hidronefrosis.Retensi progresif bagi air, natrium, dan urea dapat menimbulkan
edema hebat.
Edema ini
berespon cepat dengan drainage kateter. Diuresis paska operasi dapat terjadi
pada pasien dengan edema hebat dan hidronefrosis setelah dihilangkan
obstruksinya. Pada awalnya air, elekrolit, urin dan beban solutlainya
meningkatkan diuresis ini, akhirnya kehilangan cairan yang progresif bisa
merusakkan kemampuan ginjal untuk mengkonsentrasikan serta menahan air dan
natrium akibat kehilangan cairan dan elekrolit yang berlebihan bisa menyebabkan
hipovelemia.
Menurut Mansjoer
Arif pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan pada traktus urinarius,
terjadi perlahan-lahan. Pada tahap awal terjadi pembesaran prostat sehingga
terjadi perubahan fisiologis yang mengakibatkan resistensi uretra daerah
prostat, leher vesika kemudian detrusor mengatasi dengan kontraksi lebih
kuat.Sebagai akibatnya serat detrusor akan menjadi lebih tebal dan penonjolan
serat detrusor ke dalam mukosa buli-buli akan terlihat sebagai balok-balok yang
tampai (trabekulasi).
Jika dilihat dari dalam vesika dengan sitoskopi,
mukosa vesika dapat menerobos keluar di antara serat detrusor sehingga
terbentuk tonjolan mukosa yang apabila kecil dinamakan sakula dan apabila besar
disebut diverkel.
Fase penebalan detrusor adalah fase kompensasi yang
apabila berlanjut detrusor akan menjadi lelah dan akhirnya akan mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk kontraksi, sehingga terjadi retensi
urin total yang berlanjut pada hidronefrosis dan disfungsi saluran kemih atas
c.
Patofisiologi
Peningkatan Sel Sterm Peningkatan 5 Alfa
reduktase Proses
Menua Interaksi Sel
Epitel dan
Stroma Berkurangnya sel yang
mati dan reseptor endogen
Ketidakseimbangan hormon
( Estrogen dan testoteron)
Penyempitan Lumen Ureter Protatika
Menghambat Aliran Urina
Retensi Urina Peningkata
tekanan intra vesikal
Hidro Ureter Hiperirritable pada bladder
Hidronefritis Peningkatan
Kontraksi Otot detrusor dari buli-buli
Penurunanan Hipertropi Otot
detrusor,trabekulasi
Fungsi
ginjal
Terbentuknya Sekula-sekula dan difertikel
buli-buli
Frekuensi Intermiten Disuria Urgensi Hesistensi Terminal dribling
d. Manifestasi klinik Benigne Prostat
Hyperplasia
Gejala
klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut sebagai
Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1.
Gejala Obstruktif yaitu :
a) Hesitansi yaitu memulai kencing yang
lama dan seringkali disertai dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot
destrussor buli-buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra prostatika.
b) Intermitency yaitu terputus-putusnya
aliran kencing yang disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
c) Terminal dribling yaitu menetesnya urine
pada akhir kencing.
d) Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan
kaliber pancaran destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
e) Rasa tidak puas setelah berakhirnya
buang air kecil dan terasa belum puas.
2.
Gejala Iritasi yaitu :
a) Urgency yaitu perasaan ingin buang air
kecil yang sulit ditahan.
b) Frekuensi yaitu penderita miksi lebih
sering dari biasanya dapat terjadi pada malam hari (Nocturia) dan pada siang
hari.
c) Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.
e. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a.
Pemeriksaan
darah lengkap, faal
ginjal, serum elektrolit
dan kadar gula
digunakan untuk memperoleh
data dasar keadaan
umum klien.
b.
Pemeriksaan
urin lengkap dan
kultur.
c.
PSA
(Prostatik Spesific Antigen)
penting diperiksa sebagai kewaspadaan
adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu
gejala dari BPH
adalah melemahnya pancaran
urin. Secara obyektif
pancaran urin dapat
diperiksa dengan uroflowmeter
dengan penilaian :
a)
Flow rate
maksimal >
15 ml / dtk = non
obstruktif.
b)
Flow rate
maksimal 10 – 15 ml / dtk = border
line.
c)
Flow rate
maksimal <
10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging
dan Rontgenologik
a). BOF
(Buik Overzich ) :Untuk melihat
adanya batu dan
metastase pada tulang.
b). USG
(Ultrasonografi), digunakan
untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar
prostat juga keadaan
buli – buli termasuk residual
urin. Pemeriksaan dapat
dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra
pubik.
c). IVP
(Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk
melihat fungsi exkresi
ginjal dan adanya
hidronefrosis.
d) Pemeriksaan
Panendoskop
Untuk
mengetahui keadaan uretra
dan buli – buli.
f. Penatalaksanaan
Modalitas terapi
BPH adalah :
1. Observasi
Yaitu
pengawasan berkala pada
klien setiap 3 – 6
bulan kemudian setiap
tahun tergantung keadaan
klien
2. Medikamentosa
Terapi
ini diindikasikan pada
BPH dengan keluhan
ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai
penyulit. Obat yang digunakan
berasal dari: phitoterapi
(misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll),
gelombang alfa blocker
dan golongan supresor
androgen.
3. Pembedahan
Indikasi
pembedahan pada BPH
adalah :
a). Klien
yang mengalami retensi
urin akut atau
pernah retensi urin
akut.
b). Klien
dengan residual urin >
100 ml.
c). Klien
dengan penyulit.
d). Terapi
medikamentosa tidak berhasil.
e). Flowmetri menunjukkan
pola obstruktif.
Pembedahan dapat
dilakukan dengan :
a). TURP (Trans Uretral Reseksi Prostat ® 90 - 95
% )
b). Retropubic Atau Extravesical
Prostatectomy
c). Perianal Prostatectomy
d). Suprapubic Atau Tranvesical
Prostatectomy
4. Alternatif lain
(misalnya: Kriyoterapi, Hipertermia,
Termoterapi, Terapi Ultrasonik .
B. Konsep Dasar Keperawatan
a. Pengkajian
1. sirkulasi
Peningkatan tekanan darah ( efek
lebih lanjut pada gejala)
2. eliminasi
a) penurunan kekuatan kateter
berkemih.
b) ketidakmampuan pengosongan
kandung kemih
c) nokturia, bisuria, hemaaturia
d) duduk dalam mengosongkan kandung
kemih
e) kekembungan UTL Riwayat ( urinary
stage 1)
f) konstipasi (penojolan prostat ke
rectum
3. makanan cairan
a) anoriexia, nausea, vomiting
b) kehilangan BB mendadak
4. Nyeri nyaman
a) supra pubis, panggul, nyeri
belakang, nyeri pinggang belakang, intens (pada prostastitis akut)
b) rasa nyaman : demam
5. Sexsualitas
a) perhatikan pada efekl dari
kondisinya/ tetapi kemampuan sexualnya.
b) takut berasa kencing
c) penurunan kontraksi ejakulasi
d) pembesaran prostat
6. pengetahuan atau pendidikan
a) riwayat kanker dalam keluarga,
hipertensi,diabetes.
b) penggunaan obat anti hipertensi /
anti depresan, anti biotika, atau anti bacterial untuk saluran kencing obat
alergi
b. Diagnosa keperawatan.
Diagnosa
keperawatan yang mungkin timbul adalah
sebagai berikut :
Pre Operasi :
1). Obstruksi akut / kronis berhubungan
dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan
ketidakmapuan kandung kemih unmtuk berkontraksi secara adekuat.
2). Nyeri
( akut ) berhubungan dengan
iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
3). Resiko tinggi kekurangan cairan
berhubungan dengan pasca obstruksi
diuresis..
4). Ansietas berhubungan dengan perubahan
status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah
5). Kurang pengetahuan tentang kondisi
,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
Post Operasi :
1) Nyeri berhubungan dengan spasmus kandung
kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
2) Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih
sering.
3) Resiko tinggi cidera: perdarahan berhubungan dengan
tindakan pembedahan
4) Resiko tinggi disfungsi seksual
berhubungan dengan ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
5) Kurang pengetahuan: tentang TUR-P
berhubungan dengan kurang informasi
6) Gangguan pola tidur berhubungan dengan
nyeri sebagai efek pembedahan
c.
Perencanaan
1. Sebelum Operasi
a. Obstruksi akut / kronis berhubungan
dengan obstruksi mekanik, pembesaran prostat,dekompensasi otot destrusor dan
ketidakmapuan kandung kemih untuk berkontraksi secara adekuat.
1) Tujuan : tidak terjadi obstruksi
3) Kriteria hasil :
Berkemih dalam jumlah yang cukup, tidak
teraba distensi kandung kemih
4) Rencana tindakan dan rasional
1. Dorong pasien untuk berkemih tiap 2-4
jam dan bila tiba-tiba dirasakan.
R/ Meminimalkan retensi urina distensi
berlebihan pada kandung kemih
2. Observasi aliran urina perhatian ukuran
dan kekuatan pancaran urina
R /
Untuk mengevaluasi ibstruksi dan pilihan intervensi
3. Awasi dan catat waktu serta jumlah
setiap kali berkemih
R/ Retensi urine meningkatkan tekanan
dalam saluran perkemihan yang dapat mempengaruhi fungsi ginjal
4. Berikan cairan sampai 3000 ml sehari
dalam toleransi jantung.
R / Peningkatkan aliran cairan
meningkatkan perfusi ginjal serta membersihkan ginjal ,kandung kemih dari
pertumbuhan bakteri
5. Berikan obat sesuai indikasi ( antispamodik)
R/ mengurangi spasme kandung kemih dan
mempercepat penyembuhan
b. Nyeri
( akut ) berhubungan dengan
iritasi mukosa buli –
buli, distensi kandung kemih, kolik ginjal, infeksi urinaria.
1). Tujuan
Nyeri
hilang / terkontrol.
2). Kriteria
hasil
Klien
melaporkan nyeri hilang
/ terkontrol, menunjukkan
ketrampilan relaksasi dan
aktivitas terapeutik sesuai
indikasi untuk situasi
individu. Tampak rileks, tidur
/ istirahat dengan
tepat.
3). Rencana tindakan dan
rasional
a)
Kaji
nyeri, perhatikan lokasi,
intensitas ( skala 0 - 10 ).
R / Nyeri tajam,
intermitten dengan dorongan
berkemih / masase
urin sekitar kateter
menunjukkan spasme buli-buli,
yang cenderung lebih berat
pada pendekatan TURP (
biasanya menurun dalam
48 jam ).
b) Pertahankan patensi kateter
dan sistem drainase.
Pertahankan selang bebas
dari lekukan dan
bekuan.
R/ Mempertahankan fungsi
kateter dan drainase
sistem, menurunkan resiko
distensi / spasme
buli - buli.
c). Pertahankan tirah baring bila
diindikasikan
R/ Diperlukan selama fase awal selama
fase akut.
d) Berikan tindakan
kenyamanan ( sentuhan terapeutik, pengubahan posisi,
pijatan punggung ) dan aktivitas
terapeutik.
R / Menurunkan
tegangan otot, memfokusksn
kembali perhatian dan dapat
meningkatkan kemampuan koping.
f) Berikan rendam duduk atau lampu penghangat bila diindikasikan.
R/ Meningkatkan perfusi
jaringan dan perbaikan
edema serta meningkatkan
penyembuhan (
pendekatan perineal ).
f) Kolaborasi dalam pemberian antispasmodik
R / Menghilangkan spasme
c. Resiko tinggi kekurangan cairan
yang berhubungan dengan pasca obstruksi diuresis.
1).
Tujuan
Keseimbangan cairan tubuh tetap terpelihara.
2).
Kriteria
hasil
Mempertahankan hidrasi adekuat dibuktikan dengan: tanda
-tanda vital stabil,
nadi perifer teraba,
pengisian perifer baik, membran mukosa
lembab dan keluaran
urin tepat.
3).
Rencana
tindakan dan rasional
a). Awasi keluaran tiap jam bila
diindikasikan. Perhatikan keluaran 100-200 ml/.
R/
Diuresisi yang cepat dapat mengurangkan volume total karena ketidakl
cukupan jumlah natrium diabsorbsi
tubulus ginjal.
b). Pantau
masukan dan haluaran
cairan.
R/
Indikator keseimangan cairan dan kebutuhan penggantian.
c).
Awasi tanda-tanda
vital, perhatikan peningkatan
nadi dan pernapasan, penurunan tekanan darah, diaforesis, pucat,
R/
Deteksi dini terhadap hipovolemik sistemik
d).
Tingkatkan
tirah baring dengan kepala lebih tinggi
R/ Menurunkan kerja jantung memudahkan
hemeostatis sirkulasi.
g).
Kolaborasi dalam
memantau pemeriksaan laboratorium
sesuai indikasi, contoh:
Hb / Ht,
jumlah sel darah
merah. Pemeriksaan koagulasi, jumlah
trombosi
R/ Berguna dalam evaluasi kehilangan darah / kebutuhan penggantian. Serta dapat mengindikasikan terjadinya
komplikasi misalnya
penurunan faktor pembekuan
darah,
d) Ansietas berhubungan dengan perubahan
status kesehatan atau menghadapi prosedur bedah.
1). Tujuan
Pasien tampak rileks.
2). Kriteria hasil
Menyatakan pengetahuan yang akurat
tentang situasi, menunjukkan rentang yang yang tepat tentang perasaan dan
penurunan rasa takut.
3). Rencana
tindakan dan rasional
a).
Dampingi
klien dan bina hubungan saling percaya
R/ Menunjukka perhatian dan keinginan untuk
membantu
b).
Memberikan
informasi tentang prosedur tindakan yang akan dilakukan.
R /
Membantu pasien dalam memahami tujuan dari suatu tindakan.
c).Dorong pasien atau orang terdekat untuk
menyatakan masalah atau perasaan.
R/ Memberikan kesempatan pada pasien dan
konsep solusi pemecahan masalah
e) Kurang pengetahuan tentang kondisi
,prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya informasi
1). Tujuan : Menyatakan pemahaman tentang
proses penyakit dan prognosisnya.
2). Kriteria
hasil
Melakukan perubahan pola hidup atau
prilasku ysng perlu, berpartisipasi dalam program pengobatan.
3). Rencana
tindakan dan rasional
a). Dorong pasien menyatakan rasa takut
persaan dan perhatian.
R /
Membantu pasien dalam mengalami perasaan.
b) Kaji ulang proses penyakit,pengalaman
pasien
R/ Memberikan dasar pengetahuan dimana
pasien dapat membuat pilihan informasi terapi.
II. Sesudah operasi
1.
Nyeri
berhubungan dengan spasmus kandung kemih dan insisi sekunder pada TUR-P
Tujuan: Nyeri berkurang atau hilang.
Kriteria hasil :
-
Klien
mengatakan nyeri berkurang / hilang.
-
Ekspresi
wajah klien tenang.
-
Klien akan
menunjukkan ketrampilan relaksasi.
-
Klien akan
tidur / istirahat dengan tepat.
-
Tanda –
tanda vital dalam batas normal.
Rencana tindakan :
1. Jelaskan pada klien tentang gejala dini
spasmus kandung kemih.
R/ Kien dapat mendeteksi gajala dini
spasmus kandung kemih.
2. Pemantauan klien pada interval yang
teratur selama 48 jam, untuk mengenal gejala – gejala dini dari spasmus kandung
kemih.
R/ Menentukan terdapatnya spasmus sehingga obat – obatan bisa diberikan
3. Jelaskan pada klien bahwa intensitas dan
frekuensi akan berkurang dalam 24 sampai 48 jam.
R/ Memberitahu klien bahwa
ketidaknyamanan hanya temporer.
4. Beri penyuluhan pada klien agar tidak
berkemih ke seputar kateter.
R/ Mengurang kemungkinan spasmus.
5. Anjurkan pada klien untuk tidak duduk
dalam waktu yang lama sesudah tindakan TUR-P.
R / Mengurangi tekanan pada
luka insisi
6. Ajarkan penggunaan teknik relaksasi,
termasuk latihan nafas dalam, visualisasi.
R / Menurunkan tegangan
otot, memfokuskan kembali perhatian dan dapat meningkatkan kemampuan koping.
7. Jagalah selang drainase urine tetap aman
dipaha untuk mencegah peningkatan tekanan pada kandung kemih. Irigasi kateter
jika terlihat bekuan pada selang.
R/ Sumbatan pada selang
kateter oleh bekuan darah dapat menyebabkan distensi kandung kemih dengan
peningkatan spasme.
8. Observasi tanda – tanda vital
R/
Mengetahui perkembangan lebih lanjut.
9. Kolaborasi dengan dokter untuk memberi
obat – obatan (analgesik atau anti spasmodik )
R / Menghilangkan nyeri dan
mencegah spasmus kandung kemih.
2. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan
prosedur invasif: alat selama pembedahan, kateter, irigasi kandung kemih
sering.
Tujuan: Klien tidak menunjukkan tanda –
tanda infeksi .
Kriteria hasil:
- Klien tidak mengalami infeksi.
- Dapat mencapai waktu penyembuhan.
- Tanda – tanda vital dalam batas normal
dan tidak ada tanda – tanda shock.
Rencana tindakan:
1.
Pertahankan
sistem kateter steril, berikan perawatan kateter dengan steril.
R/ Mencegah pemasukan bakteri dan
infeksi
2. Anjurkan intake cairan yang cukup ( 2500
– 3000 ) sehingga dapat menurunkan potensial infeksi.
R/ . Meningkatkan output
urine sehingga resiko terjadi ISK dikurangi dan mempertahankan fungsi ginjal.
3.
Pertahankan
posisi urobag dibawah.
R/ Menghindari refleks balik urine yang
dapat memasukkan bakteri ke kandung kemih.
4.
Observasi
tanda – tanda vital, laporkan tanda – tanda shock dan demam.
R/
Mencegah sebelum terjadi shock.
5.
Observasi
urine: warna, jumlah, bau.
R/ Mengidentifikasi adanya infeksi.
6.
Kolaborasi
dengan dokter untuk memberi obat antibiotik.
R/ Untuk mencegah infeksi dan membantu
proses penyembuhan.
3. Resiko tinggi cidera:
perdarahan berhubungan dengan tindakan pembedahan .
Tujuan: Tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil:
-
Klien tidak
menunjukkan tanda – tanda perdarahan .
-
Tanda –
tanda vital dalam batas normal .
-
Urine
lancar lewat kateter .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien tentang sebab
terjadi perdarahan setelah pembedahan dan tanda – tanda perdarahan .
R/ Menurunkan kecemasan klien dan
mengetahui tanda – tanda perdarahan
2. Irigasi aliran kateter jika terdeteksi
gumpalan dalm saluran kateter
R/ Gumpalan dapat menyumbat kateter, menyebabkan
peregangan dan perdarahan kandung kemih
3. Sediakan diet makanan tinggi serat dan
memberi obat untuk memudahkan defekasi
.
R/ Dengan peningkatan tekanan pada fosa
prostatik yang akan mengendapkan perdarahan .
4. Mencegah pemakaian termometer rektal,
pemeriksaan rektal atau huknah, untuk sekurang – kurangnya satu minggu .
R/
Dapat menimbulkan perdarahan prostat .
5. Pantau traksi kateter: catat waktu traksi di
pasang dan kapan traksi dilepas .
R/ Traksi kateter menyebabkan pengembangan
balon ke sisi fosa prostatik, menurunkan perdarahan. Umumnya dilepas 3 – 6 jam
setelah pembedahan .
6. Observasi: Tanda – tanda vital tiap 4
jam,masukan dan haluaran dan warna urine
R/ Deteksi awal terhadap komplikasi,
dengan intervensi yang tepat mencegah kerusakan jaringan yang permanen .
4. Resiko tinggi disfungsi seksual berhubungan dengan
ketakutan akan impoten akibat dari TUR-P.
Tujuan: Fungsi seksual dapat
dipertahankan
Kriteria hasil:
-
Klien
tampak rileks dan melaporkan kecemasan menurun .
-
Klien
menyatakan pemahaman situasi individual .
-
Klien
menunjukkan keterampilan pemecahan masalah .
-
Klien
mengerti tentang pengaruh TUR – P pada seksual.
Rencana tindakan :
1 . Beri kesempatan pada
klien untuk memperbincangkan tentang pengaruh TUR – P terhadap seksual .
R/ Untuk mengetahui masalah klien .
2 . Jelaskan tentang :
kemungkinan kembali ketingkat tinggi seperti semula dan kejadian ejakulasi retrograd (air kemih
seperti susu)
R/ Kurang pengetahuan dapat membangkitkan cemas dan berdampak
disfungsi seksual
3 . Mencegah hubungan
seksual 3-4 minggu setelah operasi .
R/ Bisa terjadi perdarahan dan
ketidaknyamanan
4 . Dorong klien untuk
menanyakan kedokter salama di rawat di rumah sakit dan kunjungan lanjutan .
R / Untuk mengklarifikasi kekhatiran dan memberikan akses kepada
penjelasan yang spesifik.
5. Kurang pengetahuan:
tentang TUR-P berhubungan dengan kurang informasi
Tujuan: Klien dapat
menguraikan pantangan kegiatan serta kebutuhan berobat lanjutan .
Kriteria hasil:
-
Klien akan
melakukan perubahan perilaku.
-
Klien
berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Klien akan mengatakan pemahaman pada
pantangan kegiatan dan kebutuhan berobat lanjutan .
Rencana tindakan:
1.
Beri
penjelasan untuk mencegah aktifitas berat selama 3-4 minggu .
R/ Dapat menimbulkan
perdarahan .
2. Beri penjelasan untuk mencegah mengedan
waktu BAB selama 4-6 minggu; dan memakai
pelumas tinja untuk laksatif sesuai kebutuhan.
R/
Mengedan bisa menimbulkan perdarahan, pelunak tinja bisa mengurangi kebutuhan
mengedan pada waktu BAB
3.
Pemasukan
cairan sekurang–kurangnya 2500-3000 ml/hari.
R/
Mengurangi potensial infeksi dan gumpalan darah .
4.
Anjurkan
untuk berobat lanjutan pada dokter.
R/.
Untuk menjamin tidak ada komplikasi .
5. Kosongkan kandung kemih
apabila kandung kemih sudah penuh .
R/ Untuk membantu proses
penyembuhan .
6. Gangguan pola tidur berhubungan
dengan nyeri / efek pembedahan
Tujuan: Kebutuhan tidur dan istirahat
terpenuhi.
Kriteria hasil:
-
Klien
mampu beristirahat / tidur dalam waktu yang cukup.
-
Klien
mengungkapan sudah bisa tidur .
-
Klien
mampu menjelaskan faktor penghambat tidur .
Rencana tindakan:
1. Jelaskan pada klien dan keluarga
penyebab gangguan tidur dan kemungkinan cara untuk menghindari.
R/ meningkatkan pengetahuan klien
sehingga mau kooperatif dalam tindakan perawatan .
2. Ciptakan suasana yang mendukung, suasana
tenang dengan mengurangi kebisingan .
R/ Suasana tenang akan mendukung
istirahat
3. Beri kesempatan klien untuk
mengungkapkan penyebab gangguan tidur.
R/ Menentukan rencana mengatasi gangguan
4. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
obat yang dapat mengurangi nyeri ( analgesik ).
R/ Mengurangi nyeri sehingga
klien bisa istirahat dengan cukup .
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and
Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
Long, B.C., 1996. Perawatan Medikal
Bedah : Suatu Pendekatan Proses
Keperawatan. Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran
EGC.
Lab / UPF Ilmu
Bedah, 1994. Pedoman Diagnosis Dan
Terapi. Surabaya, Fakultas
Kedokteran Airlangga / RSUD. dr.
Soetomo.
Hardjowidjoto S. (1999).Benigna Prostat Hiperplasia. Airlangga
University Press. Surabaya
Soeparman.
(1990). Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. FKUI. Jakarta.
No comments:
Post a Comment
jangan komen yang aneh-aneh