9/10/2018

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN MIOMA UTERI


BAB II
TINJAUAN TEORI
A.    Konsep Dasar Mioma Uteri
1.      Pengertian
Mioma uteri adalah neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menumnpang, sehingga dalam kepustakaan  dikenal dengan istilah Fibromioma, leiomioma, atau fibroid (Mansjoer, 2007).
Mioma Uteri adalah suatu tumor jinak, berbatas tegas, tidak berkapsul, yang berasal dari otot polos dan jaringan ikat fibrous. Biasa juga disebut fibromioma uteri, leiomioma uteri atau uterine fibroid. Tumor jinak ini merupakan neoplasma jinak yang paling sering ditemukan pada traktus genitalia wanita,terutama wanita usai produktif. Walaupun tidak sering, disfungsi reproduksi yang dikaitkan dengan mioma mencakup infertilitas, abortus spontan, persalinan prematur, dan malpresentasi (Crum, 2003).

2.      Klasifikasi
Mioma umumnya digolongkan berdasarkan lokasi dan ke arah mana mereka tumbuh. Klasifikasinya sebagai berikut :
a.       Mioma intramural
merupakan mioma yang paling banyak ditemukan. Sebagian besar tumbuh di antara lapisan uterus yang paling tebal dan paling tengah, yaitu miometrium.
b.      Mioma subserosa
merupakan mioma yang tumbuh keluar dari lapisan uterus yang paling luar, yaitu serosa dan tumbuh ke arah rongga peritonium. Jenis mioma ini bertangkai (pedunculated) atau memiliki dasar lebar. Apabila terlepas dari induknya dan berjalan-jalan atau dapat menempel dalam rongga peritoneum disebut wandering/parasitic fibroid. Ditemukan kedua terbanyak.
c.       Mioma submukosa
merupakan mioma yang tumbuh dari dinding uterus paling dalam sehingga menonjol ke dalam uterus. Jenis ini juga dapat bertangkai atau berdasarkan lebar. Dapat tumbuh bertangkai menjadi polip, kemudian dilahirkan melalui saluran serviks, yang disebut mioma geburt (Chelmow, 2005)

3.      Etiologi
a.       Etiologi pasti mengenai mioma uteri belum diketahui.
b.      Peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri  .mempengarui pertumbuhan tumor.
c.       Faktor predisposisi yang bersifat herediter, telah diidentifikasi kromosom yang membawa 145 gen yang diperkirakan berpengaruh pada pertumbuhan fibroid. Sebagian ahli mengatakan bahwa fibroid uteri diwariskan dari gen sisi paternal.
d.      Mioma biasanya membesar pada saat kehamilan dan mengecil setelah menopausejarang ditemukan sebelum menarke (Crum, 2005).

Faktor Risiko terjadinya mioma uteri yaitu:
1)      Usia penderita
Mioma uteri ditemukan sekitar 20% pada wanita usia reproduksi dan sekitar 40%-50% pada wanita usia di atas 40 tahun (Suhatno, 2007). Mioma uteri jarang ditemukan sebelum menarke (sebelum mendapatkan haid). Sedangkan pada wanita menopause mioma uteri ditemukan sebesar 10% (Joedosaputro, 2005).
2)      Hormon endogen (Endogenous Hormonal)
Konsentrasi estrogen pada jaringan mioma uteri lebih tinggi daripada jaringan miometrium normal. (Djuwantono, 2005).
3)      Riwayat Keluarga
Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. (Parker, 2007)
4)      Indeks Massa Tubuh (IMT)
Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. (Parker, 2007)
5)      Makanan
Dilaporkan bahwa daging sapi, daging setengah matang (red meat), dan daging babi menigkatkan insiden mioma uteri, namun sayuran hijau menurunkan insiden mioma uteri (Parker, 2007).

6)      Kehamilan
Kehamilan dapat mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar esterogen dalam kehamilan dan bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Hal ini mempercepat pembesaran mioma uteri (Manuaba, 2003).
7)      Paritas
Mioma uteri lebih banyak terjadi pada wanita dengan multipara dibandingkan dengan wanita yang mempunyai riwayat frekuensi melahirkan 1 (satu) atau 2 (dua) kali (Khashaeva, 1992).

4.      Patofisiologi
Mioma uteri terjadi karena adanya sel-sel yang belum matang dan pengaruh hormone estrogen yang menyebabkan submukosa yang ditandai dengan pecahnya pembuluh darah dan intranurel, sehingga terjadi kontraksi otot uterus yang menyebabkan terjadinya perdarahan pervagina yang lama dan banyak.
Dengan adanya perdarahan pervagina lama dan banyak akan terjadi resiko tinggi kekurangan volume cairan dan gangguan peredaran darah ditandai dengan adanya nekrosa dan perlengketan sehingga timbul rasa nyeri. Penatalaksanan pada mioma uteri adalah operasi jika informasi tidak adekuat, kurang support dari keluarga, dan kurangnya pengetahuan dapat mengakibatkan cemas.
Pada post operasi akan terjadi terputusnya integritas jaringan kulit dan robekan pada jaringan saraf perifer sehingga terjadi nyeri akut. Terputusnya integritas jaringan kulit mempengaruhi proses epitalisasi dan pemabatasan akitivitas, maka terjadi perubahan pola aktivitas. Kerusakan jaringan juga mengakibatkan terpaparnya agen infeksius yang mempengaruhi resiko tinggi infeksi.
Pada pasien post operasi akan terpengaruh obat anastesi yang engakibatkan depresi pusat pernapasan dan penurunan kesadaran sehingga pola napas tidak efektif. (Prawiroharjo, S. 1999)




5.      Menifestasi Klinis
Gejala yang timbul sangat tergantung pada tempat mioma, besarnya tumor, perubahan dan komplikasi yang terjadi. Gejala yang mungkin timbul diantaranya:
a.       Perdarahan abnormal, berupa hipermenore, menoragia dan metroragia. Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan antara lain:
1)      Terjadinya hiperplasia endometrium sampai adenokarsinoma endometrium karena pengaruh ovarium.
2)      Permukaan endometrium yang lebih luas daripada biasanya.
3)      Atrofi endometrium di atas mioma submukosum.
4)      Miometrium tidak dapat berkontraksi optimal karena adanya mioma di antara serabut myometrium.
b.      Rasa nyeri yang mungkin timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma, yang disertai nekrosis setempat dan peradangan. Nyeri terutama saat menstruasi.
c.       Pembesaran perut bagian bawah.
d.      Uterus membesar merata.
e.       Infertilitas.
f.        Perdarahan setelah bersenggama.
g.      Dismenore.
h.      Abortus berulang.
i.        Poliuri, retention urine, konstipasi serta edema tungkai dan nyeri panggul.
(Chelmow, 2005)

6.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis mioma uteri , sebagai berikut :
a.       Ultra Sonografi (USG), untuk menentukan jenis tumor, lokasi mioma, ketebalan endometrium dan keadaan adneksa dalam rongga pelvis. Mioma juga dapat dideteksi dengan Computerized Tomografi Scanning (CT scan) ataupun Magnetic Resonance Image ( MRI), tetapi kedua pemeriksaan itu lebih mahal.
b.      Foto Bulk Nier Oversidth (BNO), Intra Vena Pielografi (IVP) pemeriksaaan ini penting untuk menilai massa di rongga pelvis serta menilai fungsi ginjal dan perjalanan ureter.
c.       Histerografi dan histerokopi untuk menilai pasien mioma submukosa disertai dengan infertilitas.
d.      Laparoskopi untuk mengevaluasi massa pada pelvis.
e.       Laboratorium: hitung darah lengkap dan apusan darah, untuk menilai kadar hemoglobin dan hematokrit serta jumlah leukosit.
f.        Tes kehamilan adalah untuk tes hormon Chorionic gonadotropin, karena bisa membantu dalam mengevaluasi suatu pembesaran uterus, apakah oleh karena kehamilan atau oleh karena adanya suatu mioma uteri yang dapat menyebabkan pembesaran uterus menyerupai kehamilan.

7.      Penatalaksanaan
Penanganan yang dapat dilakukan ada dua macam yaitu penangan secara konservatif dan penangan secara operatif.
a.       Penanganan secara konservatif
1)      Observasi dengan pemeriksaan pelvis secara periodic setiap 3-6 bulan.
2)      Monitor keadaan Hb.
3)      Bila anemia, Hb < 8 g% transfuse PRC.
4)      Pemberian zat besi.
5)      Penggunaan agonis GnRH untuk mengurangi ukuran mioma.
b.      Penanganan operatif, bila :
1)      Ukuran tumor lebih besar dari ukuran uterus 12-14  minggu.
2)      Pertumbuhan tumor cepat.
3)      Mioma subserosa bertangkai dan torsi.
4)      Bila dapat menjadi penyulit pada kehamilan berikutnya.
5)      Hipermenorea pada mioma submukosa.
6)      Penekanan pada organ sekitarnya.
7)      Infertilitas
8)      Meningkatnya pertumbuhan mioma (Moore, 2001).


Jenis operasi yang dapat dilakukan adalah :
1)      Enukleasi mioma
Dilakukan pada penderita infertile atau yang masih menginginkan anak atau mempertahankan uterus demi kelangsungan fertilitas.
2)      Histerektomi
Histerektomi adalah tindakan operatif yang dilakukan untuk mengangkat rahim, baik sebagian (subtotal) tanpa serviks uteri ataupun seluruhnya (total) berikut serviks uteri (Prawirohardjo, 2001). Histerektomi dapat dilakukan bila pasien tidak menginginkan anak lagi, dan pada penderita yang memiliki mioma yang simptomatik atau yang sudah bergejala. Ada dua cara histerektomi, yaitu :
a)      Histerektomi abdominal, dilakukan bila tumor besar terutama mioma intraligamenter, torsi dan akan dilakukan ooforektomi.
b)      Histerektomi vaginal, dilakukan bila tumor kecil (ukuran < uterus gravida 12 minggu) atau disertai dengan kelainan di vagina misalnya rektokel, sistokel atau enterokel (Callahan, 2005).
3)      Miomektomi
Miomektomi adalah pengambila mioma saja tanpa pengangkatan uterus. Apabila wanita sudah dilakukan miomektomi kemungkinan dapat hamil sekitar 30-50%. Dan perlu disadari oleh penderita bahwa setelah dilakukan miomektomi harus dilanjutkan histerektomi.

B.     Konsep Asuhan Keperawatan
1.      Pengkajian
Pengkajian adalah langkah awal dalam melakukan asuhan keperawatan secara keseluruhan. Pengkajian awal terdiri dari tiga tahapan yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data atau analisa data dan perumusan diagnose keperawatan.
a.       Pengumpulan data
Pengumpulan data merupakan kegiatan dalam menghimpun informasi (data-data) dari klien. Data yang dapat dikumpulkan pada klien sesudah pembedahan Total Abdominal Histerektoni dan Bilateral Salphingo Oophorectomy (TAH-BSO) adalah sebagai berikut :

Usia :
1)      Mioma biasanya terjadi pada usia repoduktif, paling sering ditemukan pada usia 35 tahun keatas.
2)      Makin tua usia maka toleransi terhadap nyeri akan berkurang.
3)      Orang dewasa mempunyai adanya mengetahui cara efektif dalam menyesuaikan diri terutama terhadap perubahan yang terjadi pada dirinya akibat tindakan TAH-BSO.
b.      Keluhan utama
Keluhan yang timbul pada hamper tiap jenis operasi adalah rasa nyeri karena terjadinya tolerant tarikan, manipulasi jaringan organ. Rasa nyeri setelah bedah biasanya berlangsung 24-48 jam.
c.       Riwayat reproduksi
1)      Menstruasi
Kaji tentang riwayat menarche dan haid terakhir, sebab mioma uteri tidak pernah ditemukan sebelum menarche dan mengalami atrofi pada masa menopause.
2)      Kehamilan dan Persalinan
Kehamilan mempengaruhi pertumbuhan mioma, sebab mioma uteri tumbuh cepat pada masa hamil ini dihubungkan dengan hormone estrogen, pada masa ini dihasilkan dalam jumlah yang besar. Jumlah kehamilan dan anak yang hidup mempengaruhi psikologi klien dan keluarga terhadap hilangnya organ kewanitaan.
d.      Data psikologi
Pengangkatan organ reproduksi dapat sangat berpengaruh terhadap emosional klien dan diperlukan waktu untuk memulai perubahan yang terjadi. Organ reproduksi merupakan komponen kewanitaan, wanita melihat fungsi menstruasi sebagai lambing feminist, sehingga berhentinya menstruasi bisa dirasakan sebagai hilangnya perasaan kewanitaan.
Perasaan seksualitas dalam arti hubungan seksual perlu ditangani. Beberapa wanita merasa cemas bahwa seksualitas terhalangi atau hilangnya kepuasan. Pengetahuan klien tentang dampak yang akan terjadi sangat perlu persiapan psikologi klien.


e.       Status respiratori
Respirasi biasanya meingkat atau menurun, pernafasan yang ribur dapat terdengar tanpa stetoskop. Bunyi pernafasan akibat lidah jatuh kebelakang atau akibat terdapat secret. Suara paru yang kasar merupakan gejala terdapat secret pada saluran napas. Usaha batuk dan bernafas dalam dilaksanakan segera pada klien yang memakai anastesi general.
f.        Tingkat kesadaran
Tingkat kesadaran dibuktikan melalui pertanyaan sederhana yang harus dijawab oleh klien atau di suruh untuk melakukan perintah. Variasi tingkat kesadaran dimulai dari siuman sampai ngantuk, harus di obeservasi dan penurunan tingkat kesadaran merupakan gejala syok.
g.      Status urinaria
Retensi urine paling umum terjadi setelah pembedahan ginekologi, klien yang hidrasinya baik biasanya kencing setelah 6-8 jam setelah pembedahan. Jumlah output urine yang sedikit akibat kehilangan cairan tubuh saat operasi, muntah akibat anastesi.
h.      Status gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal biasanya pulih pada 24-74 jam setelah pembedahan, tergantung pada kekuatan efek narkose pada penekanan intestinal. Ambulatori dan kompres hangat perlu diberikan untuk menghilangkan dan dalam usus.
i.        Pemeriksaan fisik
1)      Palpasi abdomen didapatkan tumor di abdomen bagian bawah.
2)      Pemeriksaan ginekologik dengan pemeriksaan bimanual didapatkan tumor tersebut menyatu dengan Rahim atau mengisi kavum douglasi.
3)      Konsultasi padat, kenyal, permukaan tumor umunya rata.
j.        Pemeriksaan luar
Teraba masa tumor pada abdomen bagian bawah serta pergerakkan yumor dapat terbatas atau bebas.
k.      Pemeriksaan dalam
Teraba tumor yang berasal dari rahim dan pergerakan tumor dapat terbatas atau bebas dan inti ditemukan secara kebetulan.



2.      Diagnosa keperawataan
a.      Pre operasi :
1)      Nyeri berhubungan dengan nekrosa dan perlengketan.
2)      Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses atau tindakan operasi.
3)      Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan dan muntah.
b.      Post operasi :
1)      Nyeri akut berhubungan dengan robekkan pada jaringan saraf perifer.
2)      Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidaknyamanan pasca.
3)      Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas setelah operasi.
4)      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma pada kulit atau tindakan operasi.







3.      Intervensi
Pre Operasi :
No. Diagnosa
Diagnosa Keperawatan
Rencana Asuhan Keperawatan
Rasional
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi

I

Nyeri berhubungan dengan nekrosa dan perlengketan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil:
·         Klien mampu melakukan tindakan pertolongan non-analgetik, seperti napas dalam, relaksasi dan distraksi.
·         Klien mampu mengontrol nyeri.
·         Ekspresi wajah klien rileks.
·         Klien melaporkan adanya penurunan tingkat nyeri dalam rentang sedang (4-6) hingga nyeri ringan (1-3)
·         Klien melaporkan dapat beristirahat dengan nyaman.
·         Tanda-tanda vital dalam batsa normal :
Nadi  (80-100x/menit).
Tekanan darah (120/80 mmHG).
Frekuensi pernafasan (12-20 x/menit)



1)      Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus.

2)      Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (seperti: relaksasi, guided imagery, terapi musik, dan distraksi).


3)      Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan.





4)      Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai dengan anjuran.

1)      Pengkajian nyeri secara komphrehensif dapat membantu perawat dalam menentukkan tindakan keperawatan selanjtnya.


2)      Teknik non-farmokologi dapat membantu menurunkan rasa nyeri sehingga pasien bisa dengan mandiri mengurangi rasa nyeri.

3)      Infomasi yang diberikan kepada dapat membantu klien dalam mengetahui perkembangan kesehatan dan penykitnya sehingga klien tidak merasa cemas selama mengikuti program perawatan.

4)      Analgetik yang diberikan dapat mengurangi/menghilangkan rasa nyeri pada pasien.

II

Cemas berhubungan dengan kurangnya informasi tentang proses atau tindakan operasi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam, diharapkan pasien dapat mengkontrol cemas dengan kriteria hasil :
·         Klien melaporkan kepada perawat penurunan kecemasan.
·         Klien mampu menunjukkan strategi koping efektif.
·         Klien melaporkan kepada perawat tidur cukup, tidak ada keluhan fisik akibat kecemasan, dan tidak ada perilaku yang menunjukkan kecemasan

1)      Tenangkan pasien dan kaji tingkat kecemasan pasien.


2)      Bantu pasien untuk mengungkapkan hal-hal yang membuat cemas.


3)      Dengarkan keluahan klien dengan empati dan penuh perhatian.

4)      Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada pasien dan perasaan yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan.



5)      Beri dorongan spiritual/spirit.


1)      Mengetahui sejauh mana kecemasan tersebut mengganggu klien.

2)      Ungkapkan perasaan dapat memberikan rasa lega, sehingga mengurangi kecemasan.

3)      Dengan mendengarkan keluhan klien secara empati, maka klien akan merasa diperhatikan.

4)      Menambah pengetahuan klien, sehingga klien tahu dan mengerti tentang penyakitnya.





5)      Menciptakan ketenangan batin, sehingga kecemasan dapat berkurang.


III


Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan perdarahan dan muntah.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam, diharapkan tidak terjadi kekurangan volume cairan dengan kriteria hasil :
·         Klien menunjukkan keseimbangan cairan dengan parameter individual yang tepat (misal : membrane mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda-tanda vital normal).

1)      Hitung balance cairan.





2)      Obeservasi tanda-tanda vital.



3)      Kolaborasi dalam pemberian cairan parenteral.

4)      Kolaborasi dalam pemberian antiametik sesuai kebutuhan.

1)      Pemantauan terhadap balance/keseimbangan cairan tubuh dapat membantu dalam mengetahui tingkat dehidrasi klien.

2)      Tanda-tanda yang dalam batas normal menunjukkan keadaan umu klien.

3)      Cairan parenteral yang diberikan dapat meminimalkan tingkat dehidrasi klien.
4)      Antiametik yang diberikan dapat meminimalkan iritasi pada lambung.




Post Operasi :
No. Diagnosa
Diagnosa Keperawatan
Rencana Asuhan Keperawatan
Rasional
Tujuan & Kriteria Hasil
Intervensi

I

Nyeri akut berhubungan dengan robekkan pada jaringan saraf perifer.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan nyeri pasien dapat berkurang dengan kriteria hasil:
·         Klien mampu melakukan tindakan pertolongan non-analgetik, seperti napas dalam, relaksasi dan distraksi.
·         Klien mampu mengontrol nyeri.
·         Ekspresi wajah klien rileks.
·         Klien melaporkan adanya penurunan tingkat nyeri dalam rentang sedang (4-6) hingga nyeri ringan (1-3)
·         Klien melaporkan dapat beristirahat dengan nyaman.
·         Tanda-tanda vital dalam batsa normal :
Nadi  (80-100x/menit).
Tekanan darah (120/80 mmHG).
Frekuensi pernafasan (12-20 x/menit)



1)      Kaji secara komphrehensif tentang nyeri, meliputi: lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas/beratnya nyeri, dan faktor-faktor pencetus.

2)      Ajarkan penggunaan teknik non-farmakologi (seperti: relaksasi, guided imagery, terapi musik, dan distraksi).


3)      Berikan informasi tentang nyeri, seperti: penyebab, berapa lama terjadi, dan tindakan pencegahan.






4)      Kolaborasi dalam pemberian analgetik sesuai dengan anjuran.

1)      Pengkajian nyeri secara komphrehensif dapat membantu perawat dalam menentukkan tindakan keperawatan selanjtnya.


2)      Teknik non-farmokologi dapat membantu menurunkan rasa nyeri sehingga pasien bisa dengan mandiri mengurangi rasa nyeri.

3)      Infomasi yang diberikan kepada dapat membantu klien dalam mengetahui perkembangan kesehatan dan penykitnya sehingga klien tidak merasa cemas selama mengikuti program perawatan.



4)      Analgetik yang diberikan dapat mengurangi/menghilangkan rasa nyeri pada pasien.

II

Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidaknyamanan pasca.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan pola napas klien kembali efektif dengan kriteria hasil:
·         Bunyi napas normal, tidak ad bunyi napas tambahan (Stidor, ronchi, rales).
·         Pernapasan normal : 12-20 x/menit.


1)      Kaji adanya hipoksia.



2)      Monitor respiratori rate.



3)      Atur posisi kepala ekstensi, atau sesuai dengan kebutuhan.



4)      Bantu klien untuk merubah posisi bentuk dan nafas dalam.


1)      Adanya hipoksia pada klien dapat menyebabkan terjadinya henti napas.

2)      Untuk mengetahui perkembangan jalan nafas klien.

3)      Pengaturan posisi sesuai kebutuhan dapat membantu dalam mempertahankan ventilisasi klien.

4)      Untuk mengefektifan jalan nafas klien.


III

Perubahan pola aktivitas berhubungan dengan pembatasan aktivitas setelah operasi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan klien dapat melakukan aktivitas sesuai kemampuan dengan kriteria hasil:
·         Klien dapat berpartisipasi pada aktivitas yang diinginkan.
·         Klien dapat memenuhi perawatan diri sendiri.


1)      Pantau aktivitas yang dapat dilakukan klien.


2)      Bantu klien untuk ambulasi dini dan tingkatkan aktivitas sesuai kemampuan klien.

3)      Bantu klien dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari.


1)      Hal ini dapat membantu perawata dalam mengetahui tingkat kelemahan klien.

2)      Membantu dalam mengetahui tingkat aktivitas klien.


3)      Membantu dalam pemenuhan kebutuhan klien setiap hari.

IV

Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma pada kulit atau tindakan operasi.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam, diharapkan tidak ada tanda-tanda infeksi dengan kriteria hasil:
·         Klien dapat mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
·         Klien menunjukkan perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang aman.


1)      Monitor luka operasi.


2)      Monitor tanda-tanda vital.


3)      Lakukan perawatan luka sesuai prinsip steril.



4)      Pertahankan teknik cuci tangan sebelum dan sesudah tindakan.


5)      Kolaborasi dalam pemberian antibiotic sesuai indikasi.

1)      Membantu dalam mengetahui keadaan luka pada klien.

2)      Membantu dalam mengetahui keadaan umum klien.

3)      Perawatan luka yang dilakukan dengan prinsi steril dapat mencegah terjadinya penyebaran kuman dan infeksi.

4)      Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan dapat mencegah terjadinya penularan penyakit.

5)      Antibiotik yang diberikan dapat mencegah terjadinya infeksi.

DAFTAR PUSTAKA


Achadiat CM. 2004. Prosedur tetap Obstetri dan ginekologi. Jakarta : EGC
Callahan MD MPP, Tamara L. 2005. Benign Disorders of the Upper Genital Tract in Blueprints Obstetrics & Gynecology. Boston : Blackwell Publishing,
Chelmow.D. 2005. GynecologicMyomectomy Http://www.emedicine.com/med/topic331 9.html.
Crum MD, Christopher P & Kenneth R. Lee MD. 2003. Tumors of the Myometrium in Diagnostic Gynecologic and Obstetric Pathology. Boston : Elsevier Saunders
Djuwantono T. 2004. Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi atau Miomektomi. Farmacia. Vol III NO. 12. Juli 2004. Jakarta
 Hart MD FRCS FRCOG, David McKay. 2000. Fibroids in Gynaecology Illustrated. London : Churchill Livingstone.
Joedosapoetro MS. 2003.  Ilmu Kandungan. Wiknjosastro H, Saifudin AB, Rachimhadi T. Editor. Edisi Ke-2. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka
Manuaba IBG. 2003. Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetric dan Ginekologi. Edisi 2. Jakarta : EGC
Moore JG. 2001. Essensial obstetri dan ginekologi. Edisi 2. Jakarta : Hipokrates
Panay BSc MRCOG MFFP, Nick et al. 2004. Fibroids in Obstetrics and Gynaecology. London : Mosby
Parker WH. 2007. Etiology, Symptomatology and Diagnosis of Uterine Myomas. Volume 87. Department of Obstetrics and gynecology UCLA School of Medicine. California : American Society for Reproductive Medicine

Rayburn WF. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Alih Bahasa: H. TMA Chalik. Jakata. Widya Medika,

No comments:

Post a Comment

jangan komen yang aneh-aneh