BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam beberapa tahun ini perhatian
terhadap janin yang mengalami pertumbuhan dalaam kandungan sangat meningkat.
Hal ini disebabkan masih tingginya angka kematian perinatal neonatal karena
masih banyak bayi yang dilahirkan dengan berat badan lahir rendah (Mochtar,
1998).
Melihat dari kejadian terdahulu BBLR sudah
seharusnya menjadi perhatian yang mutlak terhadap para ibu yang mengalami
kehamilan yang beresioka karena dilihat dari frekuensi BBLR di negara maju
berkisar antara 3,6-10,8% sedangkan di negara berkembang berkisar antara
10-34%. Dapat dibandingkan dengan rasio antara negara maju dan berkembang
adalah 1:4 (Mochtar, 1998).
Kematian perinatal ppada bayi berat badan
lahir rendah 8 kali lebih besar dari bayi normal pada umur kehamilan yang sama.
Kalaupun bayi menjadi dewasa ia akan mengalami gangguan pertumbuhan, baik fisik
maupun mental. Prognosis akan lebih buruk lagi bila berat badan makin rendah.
Angka kematian yang tinggi terutama
disebabkan oleh seringnya dijumpai kelainan komplikasi neonatal seperti
asfiksia, aspirasi pneumonia, perdarahan intracranial, dan hipoglikemia. Bila
bayi ini selamat kadang-kadang dijumpai kerusakan saraf dan akan terjadi
gangguan bicara, IQ yang rendah, dan gangguan lainnya.
B.
Rumusan Masalah
1. Apa defenisis BBLR ?
2. Apa saja klasifikasi dari BBLR ?
3. Apa saja etiologi dari BBLR ?
4. Bagaimana manifestasi klinis dari BBLR ?
5. Bagaimana patofisiologi terjadinya BBLR ?
6. Apa saja pemeriksaan penunjang untuk BBLR ?
7. Bagaimana penatalaksanaan pada klien dengan BBLR ?
8. Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan BBLR ?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
Memberikan
gambaran tentang BBLR (Berat Badan Lahir
Rendah) dan asuhan keperawatan pada klien dengan BBLR.
2.
Tujuan Khusus
a.
Menjelaskan
tentang defenisis BBLR
b.
Menjelaskan
tentang klasifikasi BBLR
c.
Menjelaskan
tentang etiologi BBLR
d.
Menjelaskan
tentang manifestasi klinis dari BBLR
e.
Menjelaskan
tentang patofisiologi BBLR
f.
Menjelaskan
tentang pemeriksaan penunjang untuk BBLR
g.
Menjelaskan
tentang penatalaksanaan pada klien dengan BBLR
h.
Menjelaskan tentang
asuhan keperawatan pada klien dengan BBLR
BAB II
TINJAUAN TEORI
A.
Konsep Dasar Berat Badan Lahir Rendah
1.
Definisi
Bayi BBLR adalah
bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan
(Proverawati, 2010).
Berat badan lahir
rendah (BBLR) adalah bayi baru lahir dengan berat badan pada saat kelahiran
kurang dari 2500 gr atau lebih rendah (WHO, 1961).
2.
Klasifikasi
Menurut Maryanti
(2011: 167 - 168) klasifikasi bayi dengan BBLR sebagai berikut:
a.
Prematuritas murni/prematur
adalah bayi dengan umur kehamilan kurang dari 37 minggu dan mempunyai berat
badan sesuai dengan berat badan untuk masa kehamilan atau disebut Neonatus
Kurang Bulan - Sesuai Masa Kehamilan (NKB- SMK).
b.
Dismaturitas
adalah bayi lahir dengan berat badan kurang dari berat badan seharusnya untuk
masa kehamilan, dismatur dapat terjadi dalam preterm, term, dan posterm.
Dismatur ini dapat juga disebut dengan:
1)
Neonatus Kurang
Bulan - Kecil untuk Masa Kehamilan (NKB- KMK).
2)
Neonatus Cukup
Bulan- Kecil Masa Kehamilan (NCB- KMK).
3)
Neonatus Lebih
Bulan- Kecil Masa Kehamilan (NLB- KMK).
Sedangkan
menurut Sukarni (2014: 111) klasifikasi BBLR berdasarkan penanganan dan harapan
hidup sebagai berikut:
a.
Berat Badan Lahir
Rendah (BBLR): berat lahir 1500- 2499 gram.
b.
Berat Badan Lahir
Sangat Rendah (BBLSR): berat lahir 1000- 1500 gram.
c.
Berat Badan Lahir
Ekstrim Rendah (BBLER): berat lahir kurang dari 1000 gram.
3.
Etiologi
Faktor yang
mempengaruhi terjadinya BBLR menurut Proverawati (2010: 5 - 6) yaitu:
a.
Faktor ibu
1)
Penyakit, Ibu
mengalami komplikasi kehamilan seperti anemia sel berat, perdarahan antepartum,
hipertensi, preeklamsi berat, eklamsia, infeksi selama kehamilan (IMS, TORCH,
Infeksi Kandung Kemih dan ginjal).
2)
Usia ibu kurang
dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
3)
Kehamilan ganda
(multi gravida).
4)
Jarak kehamilan
yang terlalu dekat atau pendek (kurang dari 1 tahun).
5)
Mempunyai riwayat
BBLR sebelumnya.
6)
Ibu perokok,
peminum alkohol, pecandu obat- obatan, dan penggunaan obat antimetabolik.
7)
Keadaan sosial ibu
yang rendah.
8)
Keadaan gizi ibu
yang kurang baik.
9)
Ibu mengerjakan
aktifitas beberapa jam tanpa istirahat.
10) Pengawasan antenatal yang kurang.
b.
Faktor janin
1)
Kelainan kromosom
(trysomi autosomal).
2)
Infeksi janin
kronik (inklusi sitomegali, rubella bawaan).
3)
Disautonomia
familial.
4)
Kehamilan ganda
(gemelli).
5)
Aplasia pancreas.
c.
Faktor Plasenta
1)
Berat plasenta
berkurang atau berongga atau keduanya (hidramnion).
2)
Luas permukaan
berkurang.
3)
Plasentitis vilus
(bakteri, virus dan parasit).
4)
Infark.
5)
Tumor (kuriongioma,
mola hidatidosa).
6)
Plasenta yang
lepas.
7)
Sindrom plasenta
yang lepas.
8)
Sindrom tranfusi
bayi kembar (sindrom parabiotik).
d.
Faktor lingkungan
1)
Bertempat tinggal
didataran tinggi.
2)
Terkena radiasi.
3)
Terpapar zat
beracun.
4.
Pathofisiologi
Berat badan lahir
rendah dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, faktor ibu, faktor janin
dan faktor lingkungan. Faktor ibu meliputi penyakit yang diderita ibu, usia ibu
saat hamil kurang dari 16 tahun atau lebih dari 35 tahun, keadaan sosial
ekonomi rendah. Faktor janin meliputi hidramnion, kehamilan ganda, kelainan
kromosom. Faktor lingkungan meliputi tempat tinggal, radiasi, dan zat- zat
beracun, dimana faktor-faktor tersebut dapat menyebabkan pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim sehingga mengalami gangguan dan suplai makanan
ke bayi jadi berkurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan bayi lahir prematur
atau dismatur dengan berat badan lahir kurang dari 2500 gram (Proverawati,
2010: 5 - 6). Pada bayi
baru lahir pusat pengatur suhu
tubuhnya belum berfungsi dengan sempurna, sehingga mudah
terjadi penurunan suhu tubuh,
terutama karena lingkungan yang
dingin. Dengan prinsip adanya
keseimbangan panas tersebut bayi baru lahir akan berusaha menstabilkan suhu
tubuhnya terhadap faktor-faktor
penyebab hilangnya panas karena
lingkungan (Anggraini. 2014: 691).
5.
Manifestasi
klinis
Menurut Maryanti
(2011: 167- 168) ciri- ciri bayi prematur dan dismatur sebagai berikut:
a.
Ciri- Ciri
prematuritas murni:
1)
Berat badan kurang
dari 2500 gram.
2)
Panjang badan
kurang dari 45 cm.
3)
Lingkar kepala
kurang dari 33 cm.
4)
Lingkar dada
kurang dari 33 cm.
5)
Masa gestasi
kurang dari 37 minggu.
6)
Kulit transparan.
7)
Kepala lebih besar
dari badan.
8)
Lanugo banyak
terutama pada dahi, pelipis, telinga dan lengan.
9)
Lemak subkutan
kurang.
10) Ubun- ubun dan sutura lebar.
11) Labia minor belum tertutup oleh labia mayor pada bayi
perempuan, pada bayi laki- laki tertis belum turun.
12) Tulang rawan dan daun telinga imatur.
13) Bayi kecil, posisi masih fetal.
14) Pergerakan kurang dan lemah.
15) Tangisan lemah.
16) Pernafasan belum teratur dan sering mengalami apnea.
17) Reflek tonus leher lemah, reflek menghisap dan menelan
belum sempurna.
b.
Ciri- ciri
dismaturitas:
1)
Kulit terselubung
verniks kaseosa tipis atau tidak ada.
2)
Kulit pucat atau
bernoda mekonium.
3)
Kering keriput tipis.
4)
Bayi tampak gesit,
aktif dan kuat.
5)
Tali pusat
berwarna kuning kehijauan.
6.
Komplikasi
Menurut Maryanti
(2011: 174), komplikasi pada bayi dengan BBLR sebagai berikut:
a.
Kerusakan bernafas
yang diakibatkan oleh organ pernafasan imatur.
b.
Pneumoni, aspirasi
karena reflek hisap dan batuk belum sempurna.
c.
Perdarahan
intraventikuler yaitu suatu perdarahan yang terjadi spontan di ventrikel otak
lateral yang disebabkan karena anoksia dan akan menyebabkan hipoksia otak yang
dapat mengakibatkan kegagalan peredaran darah sistemik.
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Pemeriksaan
diagnostik pada BBLR menurut Maryanti (2011: 172) yaitu:
a.
Jumlah sel darah
putih : 18.000/mm3, netrofil meningkat sampai 23.000-24.000/mm3, hari pertama setelah lahir (menurun bila ada
sepsis).
b.
Hematokrit (Ht):
43%- 61% (peningkatan sampai 65% atau lebih menandakan polisitemia, penurunan
kadar menunjukkan anemia atau hemoragic prenatal/ perinatal).
c.
Hemoglobin (Hb):
15- 20 gr/dl (kadar lebih rendah berhubungan dengan anemia atau hemolisis
berlebihan).
d.
Bilirubin total: 6
mg/dl pada hari pertama kehidupan, 8 mg/dl 1- 2 hari, dan 12 mg/dl pada 3- 5
hari.
e.
Destrosix: tetes
glukosa pertama selama 4- 6 jam pertama
setelah kelahiran rata-rata 40-50 mg/dl meningkat 60- 70 mg/dl pada hari ketiga
dan Pemeriksaan glukosa darah terhadap hipoglikemia.
f.
Pemantauan
elektrolit (Na, K, Cl): biasanya dalam batas normal pada awalnya.
g.
Pemeriksaan
Analisa gas darah.
8.
Penatalaksanaan
Penatalaksan pada
bayi BBLR adalah sebagai berikut:
a.
Pengaturan suhu
tubuh bayi premature (BBLR)
Bayi
dengan BBLR yang paling tepat dilakukan perawatan dalam inkubator. Inkubator
yang modern dilengkapi dengan alat pengatur suhu dan kelembaban agar bayi dapat
mempertahankan suhu tubuhnya yang normal. Harapan hidup bayi BBLR akan semakin
besar apabila dirawat dalam suhu lingkungan yang netral seperti halnya dalam
inkubator. Suhu inkubator yang optimum diperlukan agar panas yang hilang dan
konsumsi oksigen terjadi minimal sehingga bayi dapat mempertahankan suhu
tubuhnya (Proverawati, 2010: 31- 32).
Pengaturan
suhu inkubator sesuai dengan berat badan dan usia bayi adalah sebagai berikut:
Table 1.1 Petunjuk
pengaturan suhu inkubator.
BB Bayi
|
Suhu Inkubator (°C) Menurut Umur
|
|||
35°C
|
34°C
|
33°C
|
32°C
|
|
<1,5 kg
|
1-10 hari
|
11 hari – 3 minggu
|
3-5 minggu
|
>5 minggu
|
|
|
|
|
|
1,5-2 kg
|
|
1-10 hari
|
11 hari – 4 minggu
|
>4 minggu
|
|
|
|
|
|
2,1-2,5 kg
|
|
1-2 hari
|
3 hari – 3 minggu
|
>3 minggu
|
|
|
|
|
|
>2,5 kg
|
|
|
1 – 2 hari
|
>3 minggu
|
|
|
|
|
|
(Sumber:
Sukarni, 2014: 118).
b.
Makanan bayi
prematur
Pengaturan dan
pengawasan makanan bayi adalah menentukan pilihan susu, cara pemberian dan
jadwal pemberian yang sesuai dengan kebutuhan. ASI merupakan makanan yang
paling utama, dan menjadi pilihan utama untuk makanan bayi. Bila faktor
menghisap yang kurang maka ASI dapat di peras dan di minumkan dengan sendok
perlahan atau melalui sonde ke lambung (Proverawati, 2010: 33).
c.
Menghindari
infeksi
Bayi BBLR yang
rentang terhadap terjadinya infeksi, terutama infeksi nosokomial. Hal ini
terjadi akibat dari kadar imunoglobulin pada bayi BBLR sangat rendah,
sehingga tidak adanya barier pada tubuh
bayi. Kerentanan terhadap infeksi ini juga disebabkan aktifitas bakterisidal
neotrofil dan efek sitotoksik limfosit yang masih rendah. Jadi fungsi perawatan
bayi disini adalah memberikan perlindungan terhadap bayi BBLR dari bahaya
infeksi.
Berikut cara
pencegahan terjadinya infeksi pada bayi BBLR menurut Proverawati (2010: 34) :
a)
Menggunakan masker
dan baju khusus dalam penanganan bayi.
b)
Lakukan perawatan
tali pusat.
c)
Mengatur kunjungan.
d)
Tindakan aseptic dan antiseptic alat- alat.
B.
Konsep Asuhan Keperawatan BBLR
1.
Pengkajian
Data Subjektif
a.
Identitas
Bayi dengan berat
badan lahir rendah sering terjadi pada bayi yang lahir dengan usia kehamilan
<37 minggu dan pada bayi dismaturitas, biasanya dilahirkan dari ibu yang
hamil pada usia <20 tahun dan >35 tahun, ibu dengan sosial ekonomi rendah
dan pekerja keras, kehamilan dengan komplikasi, ataupun terjadi infeksi pada
janin atau plasenta (Proverawati, 2010: 5).
b.
Keluhan utama:
Biasanya bayi
dengan BBLR mengalami ketidak efektifan termoregulasi: hipotermi (suhu axilla
<36,5ºC) (Sukarni, 2014: 112).
1)
Keluhan saat MRS
Biasanya bayi
lahir dengan berat badan < 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm,
lingkar kepala kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang dari 33 cm, dengan masa
gestasi cukup bulan ataupun kurang bulan, lemak subkutan sedikit, kulit tipis,
tangisan lemah, pernafasan belum teratur, reflek premitif belum sempurna,
pergerakan kurang dan lemah, lanugo banyak (Maryanti, 2011: 167- 168).
Dalam pemeriksaan
fisik bayi dilakukan menggunakan balard score sebagai berikut:
2)
Keluhan Saat
Pengkajian:
Biasanya bayi BBLR
mengalami hipotermi dengan suhu axilla <36.5ºC akibat dari pusat pengaturan
suhu yang masih dalam perkembangan, jaringan lemak subkutan tipis, kulit tipis,
dan luas permukaan tubuh relatif luas sehingga kehilangan panas lebih besar
(Sukarni, 2014: 112).
c.
Anamnese ibu
1)
Riwayat Kehamilan
Sekarang
Biasanya riwayat
prenatal pada bayi BBLR ibu tidak rutin memeriksakan kehamilan, ibu mengalami
komplikasi kehamilan seperti penyakit anemia, perdarahan antepartum,
hipertensi, preeklamsi berat, eklamsi, penyakit infeksi, gizi ibu saat
kehamilan kurang baik, riwayat terkena radiasi, ibu memiliki kebiasaan merokok,
minum alkohol, pecandu obat narkotik dan riwayat penggunaan obat antimetabolisme
(Proverawati, 2010: 5- 6).
2)
Riwayat Persalinan
Sekarang
Bayi BBLR dapat
dilahirkan dengan persalinan normal ataupun caesarea, bayi BBLR bisa lahir
dengan usia gestasi cukup bulan ataupun kurang bulan, namun lebih sering BBLR
lahir dengan usia gestasi kurang dari 37 minggu/ kelahiran prematur
(Proverawati, 2010: 5).
3)
Post natal
(neonatus) saat pengkajian
Bayi BBLR lahir
dengan berat badan kurang dari 2500 gram, panjang badan kurang dari 45 cm,
lingkar kepala kurang dari 33 cm, lingkar dada kurang dari 33 cm, dengan masa
gestasi cukup bulan ataupun kurang bulan, lemak subkutan sedikit, kulit tipis,
tangisan lemah, pernafasan belum teratur, reflek premitif belum sempurna,
pergerakan kurang dan lemah, lanugo banyak (Maryanti, 2011: 167- 168).
Data Obyektif
a.
Pemeriksaan Umum
Bayi
1)
Pemeriksaan APGAR
SCORE
Biasanya bayi
dengan BBLR berpotensi mengalami asfiksia akibat dari pernafasan yang belum
teratur (Maryunani, 2013: 317).
Tabel 1.2
Penilaian Apgare Score
Tanda
|
Nilai 0
|
Nilai 1
|
Nilai 2
|
Appearence (warna kulit)
|
Seluruh tubuh biru
|
Tubuh merah, tangan kaki
biru
|
Seluruh tubuh kemerahan
|
|
|
|
|
Puls (frekuensi
jantung)
|
Tidak ada
|
< 100
|
>100
|
|
|
|
|
Grimace (reflek)
|
Tidak ada
|
Perubahan mimik
|
Bersin/ batuk, menangis kuat
|
|
|
|
|
Activity (tonus otot)
|
Lumpuh
|
Ekstremitas sedikit
fleksi
|
Gerakan aktif, ekstremitas fleksi
|
|
|
|
|
Respiratory (pernafasan)
|
Tidak ada
|
Lambat, tidak teratur
|
Menangis kuat/ keras
|
|
|
|
|
(Sumber: hidayat, 2009: 18)
Interpretasi:
Adaptasi baik :
skor 7 – 10
Asfiksia ringan – sedang : skor 4 – 6
Asfiksia berat :
skor 0 – 3
2)
Vital Sign
a)
Suhu Tubuh:
Biasanya bayi BBLR mengalami hipotermi dengan suhu axilla <36.5ºC akibat
dari pusat pengaturan suhu yang masih dalam perkembangan, jaringan lemak
subkutan tipis, kulit tipis, dan luas permukaan tubuh relatif luas (Sukarni,
2014: 112).
b)
Pernafasan:
Pernafasan pada bayi dengan BBLR belum teratur dan biasanya sering terjadi
serangan apnea (Maryunani, 2013: 317).
c)
Nadi: Pada bayi
dengan BBLR biasanya heat rate dapat normal (120- 160 kali/ menit)
(Proverawati, 2010: 2).
d)
Keaktifan:
Biasanya bayi dengan BBLR pergerakan kurang dan lemah hal ini diakibatkan otot
masih hipotonis (Maryunani, 2013: 317).
b.
Pemeriksaan Fisik
bayi (Head To Toe)
1)
Kepala
Inspeksi :
biasanya pada bayi BBLR kepala lebih besar dari pada badan. Palpasi : biasanya bayi BBLR rambut tipis dan halus,
lingkar kepala <33 cm (Sukarni, 2014: 112)
2)
Mata
Inspeksi :
biasanya bayi BBLR didaerah mata pada pelipis terdapat banyak lanugo.
Palpasi : biasanya
tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan palpasi mata(Hidayat, 2009: 190).
3)
Hidung
Inspeksi :
biasanya terdapat pernafasan cuping hidung akibat dari gangguan pola nafas.
Palpasi : biasanya
pada bayi BBLR tulang hidung masih lunak, dikarenakan tulang rawan belum
terbentuk sempurna (Hidayat, 2009: 190).
4)
Mulut
Inspeksi :
biasanya pada bayi BBLR reflek hisap, menelan dan batuk belum sempurna
(Hidayat, 2009: 190).
Palpasi : bayi BBLR motilitas usus yang kurang
mnyebabkan waktu pengosongan lambung
lama sehingga bayi mudah terjadi regurgitasi isi lambung dan muntah
(Proverawati, 2010: 19).
5)
Muka
Inspeksi :
biasanya pada bayi BBLR muka kemerahan akibat dari hipotermi (Proverawati,
2010: 10).
6)
Telinga
Inspeksi :
biasanya bayi BBLR daun telinga imatur, terdapat banyak lanugo pada telinga.
Palpasi : biasanya
bayi BBLR daun telinga imatur dan masih elastic (Maryanti, 2011: 168).
7)
Leher
Inspeksi : bayi
BBLR mudah terjadi gangguan pernafasan akibat dari inadekuat jumlah surfactan,
jika hal itu terjadi maka biasanya didapatkan retraksi suprasternal
(Proverawati, 2010: 13).
8)
Dada
a)
Area Paru:
Inspeksi :
biasanya bayi BBLR pernafasan tidak teratur, frekuensi nafas 40 – 50 kali/
menit, terdapat penggunaan otot bantu pernafasan (Proverawati, 2010: 2).
Palpasi : pada
bayi BBLR biasanya dinding dada teraba elastis karena imatur pada tulang rawan,
puting susu belum terbentuk (Sukarni, 2014: 112).
Perkusi : Perkusi biasanya
area paru sonor.
Auskultasi : jika
bayi megalami gangguan pernafasan biasanya bayi mendengkur, jika terjadi
aspirasi mekonium maka terdapat suara nafas tambahan ronchi (Proverawati, 2010:
13).
b)
Area Jantung:
Inspeksi :
biasnaya ictus cordis nampak di ICS 4 mid klavikula sinistra. Palpasi :
biasanya ictus cordis teraba di ICS 4 mid klavikula sinistra. Perkusi : area
jantung redub.
Auskultasi : S1 S2
tunggal, normalnya heat rate 120– 160 kali/ menit (Proverawati, 2010: 2).
9)
Abdomen
Inspeksi : bayi
BBLR biasanya abdomen terlihat distensi akibat perpanjangan waktu pengosongan
lambung, kulit abdomen tipis, dan pembuluh darah nampak, bayi BBLR juga memilki
pola nafas diafragmatik dan abdominal dengan gerakan yang sinkron dari dada dan
abdomen
Auskultasi : pada
bayi BBLR akibat dari imatur fungsi pencernaan maka motilitas usus berkurang/
menurun.
Palpasi : Palpasi biasanya
abdomen teraba keras karena distensi akibat dari pengosongan lambung yang lama
dan daya unuk mencerna makanan lemah.
Perkusi : bayi
BBLR mudah terjadi kembung sehingga pemeriksaan perkusi abdomen hipertimpani,
jika hal ini terjadi dapat dicurigai kelainan bedah pada bayi (Sukarni, 2011:
112) (Proverawati, 2010: 19) (Maryanti, 2011: 174).
10) Punggung
Inspeksi : Pada
bayi baru lahir perlu pemeriksaan punggung melihat adanya kelainan seperti
spina bifida.
11) Ekstremitas
Inspeksi :
biasanya pada bayi BBLR garis plantar sedikit, kadang terjadi oedem, pergerakan
terlihat lemah, terdapat lanugo pada lengan, terjadi kekakuan/ sklerema pada
kaki dan tangan, jaringan lemak subkutan sedikit (Brown Fat) (Sukarni, 2014: 112) (proverawati, 2010: 10)
(Maryunani, 2009: 26).
12) Genetalia
Inspeksi : Pada
bayi BBLR biasanya testis belum turun pada bayi laki(Sukarni, 2011: 112).
13) Anus
Inspeksi :
biasanya pada bayi BBLR anus bisa berlubang atau tidak.
c.
Antoprometri
(Maryanti, 2011: 167)
BB : Kurang dari
2500 gram.
PB : Kurang dari
45 cm.
Lila : Kurang dari
33 cm.
Lida : kurang dari
33 cm.
d.
Reflek
Biasanya pada bayi
dengan BBLR Refek primitife yang terdiri dari refleks morow, refleks tonick
neek, refleks suching dan refleks rooting lemah diakibatkan dari sistem syaraf
yang masih belum sempurna (Maryanti, 2011: 173).
e.
Eliminasi
Urine : Biasanya BBLR memiliki masalah pada
perkemihan karena ginjal bayi belum matang (Maryunani, 2009: 27).
Meconium
: Dapat ditemui adanya atresia ani sehingga meconium tidak keluar (Rudolp,
2006: 25).
2.
Diagnosa
Keperawatan
Masalah
keperawatan yang muncul pada bayi dengan BBLR menurut Hidayat (2009: 190) dan Nurarif (2013: 52)
adalah sebagai berikut:
a.
Ketidakefektifan
termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan kulit tipis dan jaringan lemak
subkutan kurang, sitem termoregulasi imatur.
b.
Ketidakefektifan
pola nafas berhubungan dengan imatur otot – otot pernafasan dan penurunan
ekspansi paru.
c.
Nutrisi kurang
dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan imatur fungsi pencernaan, reflek hisap
lemah, reflek menelan lemah.
d.
Ketidakefektifan
pemberian ASI berhubungan denganprematuritas, reflek hisap bayi buruk.
e.
Resiko tinggi
infeksi berhubungan dengan imatur sistem imunitas.
f.
Resiko tinggi
kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik, imaturitas kulit,
dan imobilitas.
3.
Intervensi
Keperawatan
Intervensi
keperawatan pada bayi BBLR meliputi:
a.
Diagnosa keperawatan:
Ketidakefektifan termoregulasi: hipotermi berhubungan dengan kulit tipis dan
jaringan lemak subkutan kurang, sitem termoregulasi imatur.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan 2 x 30 menit diharapkan suhu tubuh bayi kembali
normal.
Kriteria hasil:
Panas tubuh seimbang, kehilangan dan produksi panas seimbang, suhu tubuh dalam
batas normal (36,5ºC- 37,5ºC), tidak terjadi perubahan warna kulit.
Tabel 2.1
Intervensi Keperawatan Dan Rasionalisasi
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji suhu dengan memeriksa suhu
rektal pada awalnya, selanjutnya periksa suhu aksila atau gunakan alat
termostat dengan dasar terbuka dan penyebar hangat.
|
Hipotermia membuat bayi cenderung merasa stres karena
dingin, penggunaan simpanan lemak tidak dapat diperbaruai bila ada dan
penurunan sensivitas untuk meningkatkan kadar CO2 atau penurunan
kadar O2.
|
Tempatkan bayi pada inkubator atau dalam keadaan
hangat
Kaji haluaran dan berat jenis urine
|
Mempertahankan lingkungan termonetral, membantu mencegah
stres karena dingin.
|
Pantau sistem pengatur suhu ,
penyebar hangat (pertahankan batas atas pada 98,6°F, bergantung pada ukuran
dan usia bayi)
|
Hipertermi dengan peningkatan laju metabolisme kebutuhan
oksigen dan glukosa serta kehilangan air dapat terjadi bila suhu lingkungan terlalu
tinggi.
|
Pantau penambahan berat badan
berturut-turut. Bila penambahan berat badan tidak adekuat, tingkatkan suhu
lingkungan sesuai indikasi.
|
Hipertermi dengan peningkatan laju metabolisme kebutuhan
oksigen dan glukosa serta kehilangan air dapat terjadi bila suhu lingkungan
terlalu tinggi.
|
Perhatikan perkembangan
takikardia, warna kemerahan, diaforesis, letargi, apnea atau aktifitas
kejang.
|
Tanda-tanda hipertermi ini dapat berlanjut pada kerusakan
otak bila tidak teratasi.
|
Pantau pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi
(GDA, glukosa serum, elektrolit dan kadar bilirubin)
|
Stres dingin
meningkatkan kebutuhan terhadap glukosa dan oksigen serta dapat mengakibatkan
masalah asam basa bila bayi mengalami metabolisme anaerobik bila kadar
oksigen yang cukup tidak tersedia. Peningkjatan kadar bilirubin indirek dapat
terjadi karena pelepasan asam lemak dari meta bolisme lemak coklat dengan
asam lemak bersaing dengan bilirubin pada pada bagian ikatan di albumin.
|
Berikan obat-obat sesuai dengan
indikasi fenobarbital
|
Membantu mencegah kejang
berkenaan dengan perubahan fungsi SSP yang disebabkan hipertermi dan memperbaiki
asidosis yang dapat terjadi pada hiportemia dan hipertermia.
|
|
|
b.
Diagnosa
keperawatan : Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan imatur otot– otot
pernafasan dan penurunan ekspansi paru.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 30 menit diharapakan pola nafas
kembali efektif.
Kriteria hasil:
Kedalaman inspirasi dan kemudahan nafas, ekspansi dada simetris, tidak ada
bunyi nafas tambahan, tidak terdapat penggunaan otot bantu pernafasan.
Tabel 2.2
Intervensi Keperawatan Dan Rasionalisasi
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji frekuensi pernafasan dan pola nafas
|
Memantau adanya distres pernafasan.
|
Posisikan bayi dengan posisi sedikit ekstensi
|
Posisi ini dapat memudahkan
pernafasan dan dapat membuka jalan nafas.
|
Berikan rangsangan taktil
(menggosok punggung atau telapak kaki).
|
Merangsang SSP untuk meningkatkan gerakan tubuh dan
kembalinya pernafasan spontan.
|
Observasi irama kedalaman, dan
frekuensi nafas.
|
Pengamatan terhadap irama dan frekuensi pernapasan dapat
membantu mencegah dan mendeteksi adanya sianosis dan apnea.
|
Lakukan pengisapan jalan nafas
sesuai kebutuhan.
|
Pada bayi baru lahir berisiko adanya sumbatan jalan nafas
akibat aspirasi air ketuban.
|
Berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan (nasal kanul < 2 L/ menit,
menurut Rahsiswatmo, 2010).
|
Pemberian oksigen dapat
meningkatkan suplai oksigen ke paru.
|
|
|
Sumber
: (Sukarni, 2014: 114) dan (Doenges, 2001: 640).
c.
Diagnosa
keperawatan: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan imatur
fugsi pencernaan, reflek hisap lemah, reflek menelan lemah Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapakan menunjukkan
peningkatan berat badan.
Kriteria hasil:
Peningkatan asupan makanan, pencapaian kenaikan berat badan, peningkatan asupan
cairan, refkek hisap dan menelan bayi baik.
Tabel 2.3
Intervensi Keperawatan Dan Rasionalisasi
Intervensi
|
Rasional
|
Periksa reflek hisap dan menelan.
|
Menentukan metode pemberian makan yang tepat untuk bayi.
|
Berikan enteral tube feeding dan masukan secara perlahan
|
Memberi asupan nutrisi saat bayi belum
dapat diberikan nutrisi peroral.
|
Berikan ASI/ PASI peroral jika reflek hisap baik (hari pertama diawali
dengan 60 - 80 cc/kgBB/hari dan dinaikkan 10 – 20 cc/kgBB/hari sampai
mencapai 150cc/kgBB/hari).
|
Pemberian cairan dini
mencegah penurunan cadangan.
|
Timbang BB bayi setiap hari
dalam waktu yang sama.
|
Pertumbuhan & peningkatan BB kriteria untuk penentuan
kebutuhan kalori.
|
|
|
Sumber
: (Sukarni, 2014: 113 & 115) dan (Doenges, 2001: 651).
d.
Diagnosa
keperawatan : Ketidakefektifan pemberian ASI berhubungan dengan prematuritas,
reflek hisap yang buruk.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan diharapkan terjadi
pemeliharaan pemberian ASI.
Kriteria hasil:
Keberlangsungan pemberian ASI, peningkatan pemahaman ibu tentang laktasi,
kemampuan Ibu untuk mengumpulkan ASI, ibu mempertahankan laktasi, bayi menerima
pemberian ASI.
Tabel 2.4
Intervensi Keperawatan dan Rasionalisasi.
Intervensi
|
Rasional
|
Kaji keinginan
dan motivasi ibu untuk menyusui.
|
Membantu dalam mengidentifikasi keadekuatan peberian ASI
terhadapa bayi.
|
Kaji kesiapan bayi untuk transisi ke payudara (obserfasi reflek hisap,
rooting dan menelan).
|
Membantu mengidentifikasi kesiapan
bayi untuk menyusu ke ibu.
|
Observasi BB harian.
|
Melihat perkembangan BB bayi.
|
Observasi pola BAB.
|
Mengetahui maturitas pencernaan.
|
Lakukan pemberian minum
bayi.
|
Meningkatkan asupam ASI.
|
Anjurkan ibu untuk memerah
ASI.
|
Agar pemberian ASI adekuat.
|
Saat baby show lakukan
penyuluhan tentang pemberian ASI
|
Memberikan informasi tentang metode pemberian ASI pada
keluarga.
|
|
|
e.
Diagnosa
keperawatan: Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imatur sistem imunitas.
Tujuan: Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi
infeksi.
Kriteria hasil:
Tidak terdapat tanda – tanda infeksi (rubor, dolor, kalor,fungsiolaesa),
hiegyne yang adekuat, jumlah leukosit dalam batas normal (4000– 10.000).
Tabel 2.5 Intervensi
Keperawatan Dan Rasionalisasi
Intervensi
|
Rasional
|
Observasi tanda dan gejala infeksi lokal.
|
Bermanfaat dalam mendiagnosis infeksi
|
Observasi TTV tiap 1 – 2 jam.
|
Perubahan suhu tubuh menunjukkan
respon adanya infeksi.
|
Jaga kebersihan lingkungan.
|
Mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi
diruang perawatan.
|
Gunakan teknik aseptic (mencuci
tangan dan menggunakan sarung tangan sebelum interaksi dengan bayi).
|
Mencuci tangan merupakan teknik yang paling penting untuk
mencegah kontaminasi silang serta mengontrol infeksi diruang perawatan.
|
Lakukan perawatan tali pusat
dengan teknik septik.
|
Mencegah terjadinya infeksi dimana tali pusat sebagai por d’entry.
|
Mandikan atau seka bayi dua
kali/ hari.
|
Meningkatkan hygiene bayi dan mencegah kontaminasi
silang.
|
Beri jarak yang adekuat antara
bayi.
|
Menghindari penularan infeksi dari bayi lain.
|
Kolaborasi pemberian antibiotik
yang sesuai
|
Antibiotik berperan sebagai agen perlawanan infeksi
enterik
|
|
|
Sumber
: (Sukarni, 2014: 115) dan (Doenges, 2001: 655).
f.
Diagnosa
keperawatan: Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor
mekanik, imaturitas kulit, dan imobilitas.
Tujuan : Setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan tidak terjadi
kerusakan integritas kulit.
Kriteria hasil:
Keutuhan kulit tetap terjaga, perfusi jaringan adekuat, tidak terjadi lecet.
Tabel 2.6
Intervensi Keperawatan Dan Rasionalisasi
Intervensi
|
Rasional
|
Minimalkan penekanan pada bagian
tubuh.
|
agar peredaran darah tetap lancar dan mengurangi resiko
terjadinya dekubitus.
|
Kaji kulit dan membran mukosa tiap 2 – 4 jam
|
mengidentifikasi area potensial
kerusakan dermal, yang akan mengakibatkan sepsis.
|
Ubah atau atur posisi bayi tiap 2 – 4 jam
|
mengurangi penekanan pada salah satu sisi tubuh yang
dapat mengakibatkan dekubitus.
|
Lindungi bayi dari kontaminasi
feses dan urine.
|
feses dan urin sebagai media berkembangnya bakteri
patogen yang menyebabkan iritasi.
|
Hindari penggunaan lotion, cream,
atau powder yang berlebihan.
|
Kulit bersifat bakterisida penggunaan yang berlebihan
menjadi tempat berkembang bakteri pathogen.
|
|
|
Sumber : (Hidayat,
2009: 191) dan (Doenges, 2001: 640).
4.
Implementasi
Implementasi
merupakan tahap dimana perawat mengaplikasikan rencana asuhan keperawatan guna
mencapai tujuan pasien sesusai yang telah ditentukan. Kemampuan perawat dalam tahap ini adalah
kemampuan komunikasi yang efektif, kemampuan menciptakan hubungan saling
percaya dan membantu, kemampuan melakukan tehnik psikomotor, kemampuan
melakukan observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidiksan kesehatan,
kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi, Implementasi keperawatan dibedakan
menjadi 3 kategori yaitu independent,
interdependent, dependent (Asmadi, 2008: 177).
Dalam
malakukan asuhan keperawatan pada bayi dengan BBLR perawat harus dapat
mempertahankan suhu tubuh bayi dalam batas normal, menentukan pilihan susu,
cara pemberian dan jadwal pemberian yang sesuai, memberikan perlindungan
terhadap bayi dari bahaya infeksi, dan melakukan pembebasan jalam nafas serta
merangsang pernafasan (Proverawati, 2010: 31- 35).
5.
Evaluasi
Evaluasi
perkembangan kesehatan pasien dapat dilihat dari hasilnya. Tujuannya adalah
untuk mengetahui sejauh mana tujuan perawatan dapat dicapai dan memberikan
umpan balik terhadap asuhan keperawatan yang diberikan (Tarwoto, 2010: 8)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bayi
BBLR adalah bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2.500 gram tanpa
memandang masa kehamilan (Proverawati, 2010). Menurut Maryanti (2011: 167 -
168) klasifikasi bayi dengan BBLR sebagai Prematuritas murni/prematur dan
Dismaturitas sedangkan menurut Sukarni (2014: 111) klasifikasi BBLR berdasarkan
penanganan dan harapan hidup sebagai
Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) : berat lahir 1500- 2499 gram, Berat
Badan Lahir Sangat Rendah (BBLSR) : berat lahir 1000- 1500 gram, dan Berat
Badan Lahir Ekstrim Rendah (BBLER) : berat lahir kurang dari 1000 gram. Berat badan lahir rendah dapat disebabkan oleh
beberapa faktor yaitu, faktor ibu, faktor janin dan faktor lingkungan. Faktor
ibu meliputi penyakit yang diderita ibu, usia ibu saat hamil kurang dari 16
tahun atau lebih dari 35 tahun, keadaan sosial ekonomi rendah. Faktor janin meliputi
hidramnion, kehamilan ganda, kelainan kromosom. Faktor lingkungan meliputi
tempat tinggal, radiasi, dan zat- zat beracun, dimana faktor-faktor tersebut
dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim sehingga
mengalami gangguan dan suplai makanan ke bayi jadi berkurang. Hal tersebut
dapat mengakibatkan bayi lahir prematur atau dismatur dengan berat badan lahir
kurang dari 2500 gram (Proverawati, 2010: 5 - 6). Pada
bayi baru lahir
pusat pengatur suhu tubuhnya
belum berfungsi dengan sempurna,
sehingga mudah terjadi penurunan
suhu tubuh, terutama
karena lingkungan yang dingin. Dengan prinsip adanya keseimbangan panas tersebut
bayi baru lahir akan berusaha menstabilkan suhu tubuhnya terhadap
faktor-faktor penyebab hilangnya panas
karena lingkungan (Anggraini.
2014: 691).
B.
Saran
Dengan
adanya penulisan makalah ini diharapkan mahasiswa dibidang kesehatan khususnya
mahasiswa jururusan keperawatan dapat memhaminya sehingga dapat memberikan
penyuluhan atau pendidikan kesehatan kepada ibu maupun calon ibu atau keluarga
untuk menjaga kesehatan mereka dalam mencegah terjadi kelahiran bayi dengan
berat badan rendah sehingga dapat meningkatkan derajat kesehatan ibu maupun
bayi di Indonesia.
No comments:
Post a Comment
jangan komen yang aneh-aneh