BY SITI MUTIAH CC: FOR CREDIT
BAB
I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan atau
tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa (trauma atau tenaga fisik).
Untuk memperbaiki posisi fragmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat
direposisi tapi sulit dipertahankan dan untuk memberikan hasil yang lebih baik
maka perlu dilakukan tindakan operasi ORIF (Open Rreduktion wityh Internal
Fixation).
Sistem
muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan.
Komponen utama dari sistem muskuloskeletal adalah tulang dan jaringan ikat yang
menyusun kurang lebih 25 % berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%.
Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament, dan
jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini.
(Price,S.A,1995 :175)
Tulang
adalah jaringan yang paling keras diantara jaringan ikat lainnya yang terdiri
atas hampir 50 % air dan bagian padat, selebihnya terdiri dari bahan mineral
terutama calsium kurang lebih 67 % dan bahan seluler 33%.
Kecelakaan lalu
lintas sering sekali terjadi di negara kita, khususnya di kota ini. Ratusan
orang meninggal dan luka-luka tiap tahun karena peristiwa ini. Memang di negara
ini, kasus kecelakaan lalu lintas sangat tinggi. Kecelakaan lalu-lintas
merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia, setelah penyakit jantung dan
stroke. Menurut data kepolisian Republik Indonesia Tahun 2003, jumlah
kecelakaan di jalan mencapai 13.399 kejadian, dengan kematian mencapai 9.865
orang, 6.142 orang mengalami luka berat, dan 8.694 mengalami luka ringan.
Dengan data itu, rata-rata setiap hari, terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang
menyebabkan 30 orang meninggal dunia. Adapun di Sulawesi Selatan, jumlah
kecelakaan juga cenderung meningkat di mana pada tahun 2001 jumlah korban
mencapai 1717 orang, tahun selanjutnya 2.277 orang, 2003 sebanyak 2.672 orang.
Tahun 2004, jumlah ini meningkat menjadi 3.977 orang. Tahun 2005 dari Januari
sampai September, jumlah korban mencapai 3.620 orang dengan korban meninggal
903 orang.
Trauma yang paling
sering terjadi dalam sebuah kecelakaan adalah fraktur (patah tulang). Fraktur
atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka,
yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara
luar, dan fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan
dunia luar. Secara umum, fraktur terbuka bisa diketahui dengan melihat adanya
tulang yang menusuk kulit dari dalam, biasanya disertai perdarahan. Adapun
fraktur tertutup, bisa diketahui dengan melihat bagian yang dicurigai mengalami
pembengkakan, terdapat kelainan bentuk berupa sudut yang bisa mengarah ke
samping, depan, atau belakang.
Selain itu, ditemukan
nyeri gerak, nyeri tekan, dan perpendekan tulang. Dalam kenyataan sehari-hari,
fraktur yang sering terjadi adalah fraktur ekstremitas dan fraktur vertebra.
Fraktur ekstremitas mencakup fraktur pada tulang lengan atas, lengan bawah,
tangan, tungkai atas, tungkai bawah, dan kaki. Dari semua jenis fraktur,
fraktur tungkai atas atau lazimnya disebut fraktur femur (tulang paha) memiliki
insiden yang cukup tinggi. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3
tengah.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Apa pengertian dari Fraktur?
2.
Apa etiologi dari Fraktur?
3.
Apa Manifestasi klinis dar Fraktur?
4.
Bagaimana Patifisiologi dari Fraktur?
5.
Apa Pemeriksaan penunjang dari Fraktur?
6.
Apa Penatalaksanaan medis dari Fraktur?
7.
Bagaimana Konsep keperawatan pada Fraktur?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian dari Fraktur
2.
Untuk mengetahui etiologi dari Fraktur
3.
Untuk mengetahui manifestasi klinis dar Fraktur
4.
Untuk mengetahui bagaimana patifisiologi dari Fraktur
5.
Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang dari Fraktur
6.
Untuk mengetahui penatalaksanaan medis dari Fraktur
7.
Untuk mengetahui bagaimana Konsep keperawatan
pada Fraktur
bab ii
pembahasan
A.
KONSEP DASAR FRAKTUR
a. Pengertian
Fraktur
atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau
tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Syamsuhidayat. 2004: 840).
Fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
(Brunner & Suddarth. 2001 : 2357).
Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.
(Mansjoer, Arif, 2000).
Beberapa definisi fraktur diatas dapat disimpulkan bahwa fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang yang disebabkan oleh beberapa mekanisme. Penyebab yang paling lazim adalah karena trauma.
b. Etiologi
Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma namun dapat juga disebabkan oleh kondisi lain menurut Appley dan Salomon (1995: 238) fraktur dapat terjadi karena:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian besar disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran atau penarikan.
1)
Bila terkena kekuatan langsung
Tulang dapat patah dan dapat mengenai jaringan lunak. Karena pemukulan
(pukulan sementara) biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada
kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan dapat menyebabkan fraktur kominutif
disertai kerusakan jaringan lunak yang luas.
2)
Bila
terkena kekuatan tak langsung
Tulang mengalami fraktur pada tempat
yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu. Kerusakan jaringan lunak di
tempat fraktur mungkin tidak ada.
Fraktur kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang, seperti
pada logam dan benda lain akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling
sering ditemukan pada tibia dan fibula atau
metatarsal, terutama pada atlet, penari dan calon tentara yang jalan
berbaris dengan jarak jauh.
Fraktur patalogik
Fraktur dapat terjadi oleh kekuatan tulang yang berkurang atau rapuh oleh karena adanya proses patologis. Proses patologis tersebut antara lain adanya tumor, infeksi atau osteoporosis pada tulang.
c.
Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup
mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan
eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka
terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. (Carpnito, Lynda
Juall, 2000).
Setelah terjadi fraktur, periosteum dan
pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang
membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan
terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera
berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi,
eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah
yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1) Faktor
Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi
pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat
menyebabkan fraktur.
2) Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari
tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas
absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan
tulang.
( Ignatavicius, Donna D, 2000
)
b. Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa
beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang
patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang
baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan
tulang, yaitu:
1) Stadium
Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk
hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna
melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan
fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama
sekali.
2)
Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan
differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari
periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang
mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan
disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam
beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang
yang patah. Fase ini
berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung
frakturnya.
3)
Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi
yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu
akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi
oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi
sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago,
membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara
tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada
tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4)
Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas
osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar.
Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan
osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat
dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen
dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu
beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5)
Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu
manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar
ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang
terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang
tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum
dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.
(Black, J.M, et al, 1993 dan
Apley, A.Graham,1993)
d.
Manifestasi klinik Fraktur
1)
Nyeri
terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang diimobilisasi,
hematoma, dan edema
2)
Deformitas
karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3)
Terjadi
pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
4)
Krepitasi
akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5)
Pembengkakan
dan perubahan warna lokal pada kulit
e.
Pemeriksaan Penunjang
1.
Radiologi :
X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur,
deformitas dan metalikment. Venogram/anterogram menggambarkan arus
vascularisasi. CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
2.
Laboratorium :
Pada fraktur test laboratorium yang perlu
diketahui : Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah
(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada masa
penyembuhan Ca dan P mengikat di dalam darah
f. Penatalaksanaan
1.
Reduksi
fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen tulang yang
patah sedapat mungkin untuk kembali
seperti letak semula.
2.
Imobilisasi
fraktur
3. Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna
atau interna
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
4.
Reduksi
dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
5.
Pemberian
analgetik untuk mengerangi nyeri
6.
Status
neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan) dipantau
7.
Latihan
isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi disuse dan
meningkatkan peredaran darah
B. Konsep Dasar Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap
awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan
ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah
terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat
bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a.
Pengumpulan Data
1) Anamnesa
a)
Identitas Klien
Meliputi nama, jenis
kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan,
pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama
pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik
tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang rasa nyeri klien digunakan:
(1) Provoking Incident: apakah ada
peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
(2) Quality of Pain: seperti apa
rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar,
berdenyut, atau menusuk.
(3) Region : radiation, relief:
apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana
rasa sakit terjadi.
(4) Severity (Scale) of Pain:
seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa
jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
(5) Time: berapa lama nyeri berlangsung,
kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius,
Donna D, 1995)
c) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang
dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam
membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya
penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
d) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini
ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang
tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang
berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi
terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada
beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).
f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi
klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik
dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)
Pola-Pola Fungsi Kesehatan
(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup
Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada
dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup
klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah
klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
(2)
Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada
klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya
seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses
penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu
menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu
juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3)
Pola Eliminasi
Untuk kasus
fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola
eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
(4)
Pola Tidur dan Istirahat
Semua
klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian
dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan
kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
(5)
Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri,
keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan
kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan
yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6)
Pola Hubungan dan Peran
Klien akan
kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(7)
Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada
klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image). (Ignatavicius,
Donna D, 2000).
(8)
Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya
rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang
lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur. (Ignatavicius,
Donna D, 1995).
(9)
Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur
yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat
inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 2000).
(10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul
rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada
diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien. (Ignatavicius, Donna D, 2000).
2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu
pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan
pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total
care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah
yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1)Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah
tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma,
gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
(b) Kesakitan, keadaan
penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya
akut.
(c) Tanda-tanda vital
tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak
ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak
anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal.
Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa
mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
v Inspeksi : Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
v Palpasi : Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
v Perkusi : Suara ketok
sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
v Auskultasi : Suara nafas
normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
v Inspeksi : Tidak tampak
iktus jantung.
v Palpasi : Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
v Auskultasi : Suara S1 dan
S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
v Inspeksi : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
v Palpasi : Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
v Perkusi : Suara thympani,
ada pantulan gelombang cairan.
v Auskultasi : Peristaltik usus normal ± 20
kali/menit.
(m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal
adalah:
(1) Look
(inspeksi)
Perhatikan
apa yang dapat dilihat antara lain:
(a)
Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth
mark).
(c) Fistulae
(d) Warna
kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e)
Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
(abnormal).
(f)
Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g)
Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel
(palpasi)
Pada waktu akan palpasi,
terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi
anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua
arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a)
Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(b)
Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama
disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness),
krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau
konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang.
Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan
terhadap dasar atau permukaannya, nyeri
atau tidak, dan ukurannya.
(3)
Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan
pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan
dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak
ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan
sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik
0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah
ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah
gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
b. Diagnosa keperawatan.
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Risiko cedera b/d gangguan integritas tulang
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, M.E., Marry, F..M and
Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk
Perencanaan Dan Pendokumentasian Perawatan
Pasien. Jakarta, Penerbit
Buku Kedokteran EGC.
No comments:
Post a Comment
jangan komen yang aneh-aneh