12/14/2018

MAKALAH PENYAKIT DIFTERI PADA ANAK


BY SITI MUTIAH CC : FOR CREDIT

MAKALAH PENYAKIT DIFTERI PADA ANAK
BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang
Difteri merupakan penyakit infeksi yang sangat menular yang banyak dialami oleh anak-anak. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian, sehingga perlu penanganan yang cepat dan tepat untuk mencegah mortilitas dan morbilitas yang semakit meningkat. Kejadian luar biasa pernal dilaporkan di Rusia pada tahun 1990 yang penyebaranya ke Uni Soviet dan Mongolia. Di Amerika angka pasien difteri mencapai 2-3 juta kaus dengan jumlah kematian 45.000 orang pertahun. Di Indonesia jumlah pasien anak dirteri berjumlah 250-299 per 1000 anak balita setiap tahunya. Angka kematian pasien difteri di Indonesia mencapai 21 % yang merupakan penyebab kematian nomer  empat setelah penyakit kardiovaskuler, TBC, dan Pnemonia. Di innodesia ini penyakt difteri banyak pada penduduk yang padat penghuni dengan kematian cukup tinggi (Prabowo, 2012)
  1. Rumusan Masalah
Bagaimana pengertian dan asuhan keperawatan pada pasien anak dengan penyakit difteri ?
  1. Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum
a.       Untuk memenuhi tugas Mata kuliah Keperawatan Anak .
2.      Tujuan Khusus
a.       Untuk mengetahuai pengertian penyakit difteri.
b.      Untuk mengetahui masalah keperawtan pada pasien dengan difteri.
c.       Mampu melakukan pengkajian pada pasien difteri.
d.      Mampu melakukan tindakan keperawatan pada pasien difteri.


BAB II
PEMBAHASAN

I.     Laporan Pendahuluan Difteri Pada Anak
A.    Definisi Difteri
Penyakit difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae yang mudah menularkan dan toksin yang masuk akan membentuk pseudomembran (Marni, 2016).
Menurut A.Aziz Alimul Hidayat, 2010 difteri merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae yang bersifat gram positif, polimorf, dan tidak membentuk spora. Penyakit ini mudah menyerang anak-anak melalui udara atau pada alat yang terkontaminasi.

B.     Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini berbentuk batang gram-positif. Bakteri dapat ditemukan pada sediaan langsung dari apusan tenggorok atau hidung. Bakteri akan mati pada suhu 600 C selama 10 menit, serta tahan hidup beberapa minggu pada es, air, susu danlendir yang telah mengering. Sifat basil yaitu membentuk pseudomembran yang sulit diangkat, mudah berdarah, bewarna putih keabuabuan pada daeerah yang terkena, yang terdiri dari fibrin, leukosit, nekrosis jaringan dan kuman, serta mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan meracuni jaringan setelah beberapa jam diserap, terutama pada otot jantung, ginjal, dan jaringan saraf. Hanya dengan sejumlah 1/50 ml, toksin sudah dapat membunuh kelinci (Ngastiah, 2005)
Penularan penyakit ini dapat secara langsung maupun tidak langsung. Penularan secara langssung yaitu melalui udara dengan droplet infection serta kontak langsung dengan pasien difteri. Penularan secara tidak langsung ini yaitu melalui benda-benda yang terkontaminasi dengan kuman Corynebacterium diphtheriae, misalnya alat makan, minum dan handuk. Berat ringanya penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya virulensi, banyaknya basil dan daya tahan tubuh anak. Pada anak yang daya tahan tubuhnya baik dan virulensinya ringan, makan anak akan mengeluh sakit ketika menelan dan dapat sembuh dengan sendirinya. Pada umumnya tanda padda anak atau pasien yang mengalami penyakit berat yaitu terdapat bullneck (leher benteng) atau terdapat stridor dan dispneu (Murni, 2016)

C.     Gambaran Klinis
Pada difteri faring dan tonsil, jika penyakitnya ringan hanya akan menimbulkan nyeri telan, tidak ada pembentukan pseudomembram, penyakit akan sembuh dengan sendirinya dan dapat membentuk kekebalan tubuh. Jika penyaktnya berat, maka sering ditandai dengan  tanda dan gejala seperti demam ringan, batuk, pilek, hidung mengeluarkan cairan bercampur darah, lesu, pucat, nyeri kepala, anoreksia, mual dan muntah, sehingga anak kelihatan sangat lemah, pembekakan pada tenggorokan, nyeri telan. Anak dapat tersedak karena kelumpuhan saraf menelan atau pallatum mole dan suara serak.
Laring dan trakea merupakan penjalaran dari difteri faring dan tonsil. Gejalanya hampir sama namun lebih berat. Anak akan menunjukan sesak napas yang hebat.laring tampak kemerahan, sembab, banyak sekret dan permukaan laring tertutup oleh pseudomembran yang mengakibatkan sumbatan jalan napas dan sianosis (Sumarmo, 2002).

D.    Patofisiologi
Bakteri Corynebacterium diphtheriae masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dan tiddak langsung. Kuman masuk dan berkembang baik di saluran pernapasan, kemudian masuk ke seluruh tubuh melalui aliran sistemik. Setelah melewati masa inkubasi selama 2-5 hari, kuman embentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul lokal, kemudian menjalar ke faring, laring dan saluran pernapasan bagian atas. Kelenjar getah bening akan membengkak dan mengandung toksin. Jika mengenai otot jantung maka akan menyebabkan miokarditis toksisk, dan akan menyebabkan paralis otot penapasan jika mengenai jaringan saraf perifer. Toksin tersebut juga dapat menyebabkan nekrosis pada hati dan ginjal yang ddapat menyebabkan nefritis interstisialis. Ektoksisn ini akan menyerang nasal, tonsil dan farisng. Pada nasal akan menyebabkan terjadinya peradangan mukosa hidung, pilek, flu dan sekret hidung. Pada tonsil dan faring akan terjadi gangguan berupa sakit tenggorokan, stridor, sesak napas, membran berwarna putih keabu-abuan, toksemia dan syok septik sedangkan pada faring akan menyebabkan demam, suara serak batuk obstruksi jalan napas dan adanya sianosis. Sumbatan jalan napas terjadi karena adanya pseudomembran pada laring dan trakea yang dapat mengakibatkan kematian. Selain itu, kematian dapat terjadi karenaa komplikasi berupa miokarditis yang menyebabkan gagal jantung dan brokopneumonia yang menyebabkan gagal napas.

E.     Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan tenggorokan yang dilakukan untuk mengetahui adanya kuman Corybacterium diphtheriae antara lain dengan cara pewarnaan Gram, kultur tenggorokan atau pemeriksaan untuk mendeteksi keberadaan toksin yang dihasilkan oleh bakteri. Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar hemoglobin, jumlah eritrosit dan albumin serta leukositosis polimorfonukleus. Pada pemeriksaan urin terdapat albuminaria ringan. Selain itu, perlu dilakukan pemeriksaan EKG.
Uji schick dilakukan untuk mengetahui kekebalan terhadap penyakit difteri. Cara melakukan uji Schixk yaitu dengan menyuntikan 1/50 minimum lethal dose (MLD) sebanyak 0,02 Ml secara intracutan. Uji Schick dikatakan positif apabila terdapat indurasi >10 mm bewarna merah kecoklatan selama 24 jam. Jika uji Schcik positif maka tubuh tidak ada antioksin dalam tubuh terhadap penyakit difteri, sedangkan jika schic negatif, maka tubuh mempunyai kekebalan terhadap penyakit difteri. Jika tidak indurasi, maka nilai indurasi menjadi <10 mm (Murni, 2016).

F.      Penatalaksanaan
Pasien perlu dirawat diruang isolasi. Petugas harus memakai alat pelingdung diri dengan lengkap (APD). APD harus bersih dan diganti setiap pergantian shift. Demikian juga penunggu atau keluarga pasien. Ruangan tempat pasien dirawat harus disediakan tempat cuci tangan, disinfektan, sabun, dan lap dan handuk. Alat makan bekas pasien dan baju harus direndam di tempat terpisah dengan menggunakan disinfektan.
Obat yang diberikan untuk mengatasi penyakit difteri yaitu antiphtheria serum (ADS), antibiotik, dan kortikosteroid. Pemberian ADS selama 2 hari berturut-turut dengan dosis 20.000 U/hari, tetapi sebelumnya harus dilakukan pemeriksaan pada pasien, apakah ia peka terhadap serum atau tidak. Jika ternyata pasien peka terhadap serum, maka harus dilakukan desensitasi dengan cara bedreska (suatu cara pemberian serum anti-difteri). Antibiotik yang sering digunakan untuk mengobati difteri yaitu penisilin prokain 50.000 U/KgBB/hari sampai 3 hari bebas demam. Kloramfenikol 75 mg/kgBB/hari  yang dibagi 4 dosis diberikan pada pasien yang menjalani trakeostomi. Pemberian kortikosteroid bertujuan untuk mencegah terjadinya miokatditis yang sangat berbahayda. Obat yang diberikan yaitu predinison 2 mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Jika terjadi sumbatan jalan napas berat, maka perlu dilakukan trakeostomi.

patway

G.    Pencegahan
Pemberian imunisasi DPT diberikan untuk mencegah terjadinya penyakit difteri. Mengisolasi pasien yang terjangkit kuman difterri dapat dilakukan agar tidak menularkan ke orang lain. Pasien yang sudah dinyatakan sembuh harus diperiksa apakah benar-benar sudah bebas dari kuman Corynebacterium diphtheriae dengan pemeriksaan 2 kali berturut-turut apusan tengorokan (Sumarmo, 2002).
H.    Komplikasi
Komplikasi dapat teerjadi karena basil masu ke jaringan atau organ ginjal, saluran pernapasan, jantung dan saraf.


Untuk lebih jelasnya dapat dilihat ditabel berikut
Lokasi
Komplikasi
Saluran pernapasan
Obstruksi jalan napas
Bronkopnemonia
Atelektasis
Apnea
Jantung
Miokarditis (padda minggu kedua)
Gagal jantung
Ginjal
Mefritis interstisialis
Saraf
Nefritis
Tersedak dan sulit menelan
Paralis oto-otot mata
Gangguan akomodasi
Dilatasi pupil





















II.      Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Difteri
A.    Konsep Keperawatan
1.      Pengkajian
a.       Identitas klien
Biasanya menyerang pada individu yang berusia kurang dari 15 tahun (yang tidak dapat imunisasi lengkap).
b.      Keluhan utama
Pada biasanya klien akan mengeluh batuk dan demam.
c.       Riwayat penyakit sekarang
1)      Demam, Sakit Kepala, Batuk, lesu/ lemah, sianosis, sesak nafas, dan pilek.
2)      Difteri nasal : Sakit jantung serosa inguinosa, epistaksis, ada membrane putih pada septum nadi.
3)      Difteri tonsil dan faring : Panas tidak tinggi, nyeri telan ringan, mual, muntah, nafas berbau, dan Bullneck.
4)      Difteri laring dan trachea : Sesak nafas hebat, stridor inspirator, terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret, permukaan tertutup oleh pseudomembran.
d.      Riwayat kesehatan keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan yang menderita penyakit Difteria.
e.       Riwayat imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan yang kurang memadai.

2.      Pengkajian fisik
  Secara head to toe :
a.    Inspeksi  :


Kepala
:
simetris/tidak, tampak benjolan abnormal/ tidak, ada lesi/tidak, kulit  kepala bersih
Rambut
:
hitam/tidak, ada ketombe/tidak, rontok/tidak
Wajah
:
pucat/tidak
Mata  
:
ada lesi/tidak, conjungtiva pucat/tidak, scelera
Hidung   
:
simetris/tidak, tampak bersih/tidak, ada secret/tidak, ada pernafasan cuping hidung/tidak.
Mulut   
:
mukosa bibir terlihat lembab/tidak, bersih/tidakk, tampak ada  stomatitis/tidak.

Leher  
:
tampak pembesaran kelenjar tyorid, kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris/tidak.
Dada  
:
simetris/tidak, tampak benjolan yang abnormal/tidak, nafas teratur/tidak.
Perut   
:
tampak buncit/tidak, adanya benjolan/tidak.
Genetalia
:
untuk mengetahui kelengkapan dan keadaannya.
Integume
:
tampak pucat/tidak, kering/lembab
Ekstremitas  Atas
:
simetris/tidak, pergerakan bebas/tidak
Ekstremitas  Bawah
:
simetris/tidak, pergerakkan bebas/tidak


b.      Palpasi :

Kepala
:
teraba benjolan abnormal/tidak
Leher
:
teraba pembesaran kelenjar tyorid, kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris/tidak
Dada
:
simetris/tidak, tampak benjolan yang abnormal/tidak, nafas teratur/tidak.
Perut   
:
teraba benjolan yang abnormal/tidak..
Integumen
:
kering/lembab, turgor jelek/tidak

1)      Kepala       :  teraba benjolan abnormal/tidak
2)      Leher         : teraba pembesaran kelenjar tyorid, kelenjar lymfe maupun pembesaran vena jugolaris/tidak.
3)      Dada         : simetris/tidak, tampak benjolan yang abnormal/tidak, nafas teratur/tidak.
4)      Perut          : teraba benjolan yang abnormal/tidak..
5)      Integumen : kering/lembab, turgor jelek/tidak
c.          Auskultasi :
1)      Dada          : terdengar ronchi dan wheezing/tidak
2)      Abdomen   : terdengar bising usus/tidak
d.      Perkusi :
1)      Reflek patella : kanan/kiri positif/tidak
2)      Perut                : ada kembung/tidak

3.      Diagnosa Keperawatan
a.    Bersihan jalan nafas tidak efektif
b.    Nutrisi kurang dari kebutuhan
c.    hipertermia
d.    Resiko penyebaran infeksi
e.    Resiko kekurangan volume cairan.

4.      Rencana Asuhan Keperawatan
Diagnosa 1: Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya obstruksi jalan nafas

Kriteria hasil: Jalan nafas anak efektif, pernapasan dalam batas normal sesuai usia anak dilihat dari frekuensi, kedalaman, dan iramanya.

Intervensi
Rasional
a.       Kaji keluhan pasien

b.      Observasi status pernapasan anak, irama, frekuensi, kedalamannya, dan bunyi pernapasan

c.       Berikan posisi yang nyaman, posisi fowler atau semi fowler untuk memudahkan ekspansi paru

d.      Latihan batuk efektif

e.       Lakukan fisioterapi dada

f.        Lakukan pengisapan (section) jika secret tidak dapat keluar dengan cara batuk efektif dan fisioterapi dada

g.      Kolaborasi pemberian oksigen sebelum dan sesudah dilakukan suction


a.     Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan

b.     Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien

c.     Memudahkan pernapasan

d.     Batuk efektif membantu untuk membersihkan mucus dari paru, dan bernafas dalam akan meningkatkan oksigenasi

e.       Merupakan kombinasi posturan drainase, perkusi dada, dan vibrasi. Selain itu, latihan batuk dan nafas dapat membantu untuk menghilangkan dan mengeluarkan secret. pengembangan jaringan paru akan pulih kembali, serta meningkatkan efesiensi penggunaan otot pernapasan

f.     Pengisapan lendir membatu untuk mengeluarkan secret karena anak tidak dapat mengeluarkannya sendiri

g.    Pemberian oksigendapat disarankan untuk mengurangi hipoksia dan kegelisahan.


Diagnosa 2: Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan yang tidak seimbang

Kriteria hasil : Nutrisi anak terpenuhi yang ditandai dengan meningkatnya berat badan, lingkar lengan atas normal, sesuai dengan usia anak, anak mau makan menghabiskan porsi yang disediakan, anak tenang, dan tidak muntah

Intervensi
Rasional
a.       Kaji keluhan anak, ketidakmampuan anak untuk makan

b.      Observasi tanda-tanda kekurangan nutrisi


c.       Berikan makan sehat yang disukai anak

d.      Berikan makanan dengan porsi kecil tetapi sering

e.       Beriakan susu dua gelas sehari

f.        Berikan sari buah setiap hari

g.      Berikan suplemen makanan, vitamin, dan penambah nafsu makan

h.      Berikan nutrisi parenteral untuk mencukupi nutrisi

i.        Pasang OGT bila perlu

j.        Pantau indicator terpenuhinya kebutuhan nutrisi( berat badan, lingkar lengan, dan membrane mukosa) yang adekuat

a.       Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan

b.      Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien

c.       Memberikan makanan sehat yang disukai anak dapat menambah nafsu makan

d.      Makanan dalam jumlah sedikit namun sering dapat mencegah distensi lambung akibat makanan berlebihan pada satu kali makan, dan menggunakan sedikit energy anak untuk makan

e.       Anak membutuhkan banyak kalori yang dapat dari susu untuk meningkatkan kebutuhan metabolism akibat takipnea, takikardi, dan gangguan pernapasan

f.        Makanan tersebut mencegah kerusakan protein tubuh dan memberikan kalori energy

g.      Suplemen dan vitamin dapat membantu mengembalikan nutrient yang hilang akibat penyakit.

h.      Untuk memenuhi kebutuhan nutrisi

i.        Melalui selang nasogastric memungkinkan anak dapat menerima nutrisi yang baik

j.        Untuk memantau status nutrisi
Diagnosa 3: Hipertermia berhunungan dengan proses infeksi

Kriteria hasil : Suhu tubuh anak dalam batas normal (36-37,5oC) dan anak tampak tenang
intervensi
Rasional
a.        Kaji keluhan klien

b.      Observasi tanda-tanda vital pasien

c.       Berikan minum yang banyak

d.      Kenakan pakaian yang longgar dan tipis

e.       Lakukan kompres hangat

f.        Kolaborasi pemberian antipiretik
a.       Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan

b.      Untuk mendeteksi tanda awal bahaya pada pasien

c.       Untuk memenuhi volume cairan serta mencegah terjadinya dehidrasi

d.      Tindakan tersebut dapat membantu proses penguapan serta memberikan kenyamanan

e.       Hipotalamus menerima rangsangan suhu jika kita melakukan kompres hangat maka hipotalamus menanggapi bahwa tubuh dalam keadaan hangat sehingga tubuh bereaksi untuk menurunkan suhu tubuh.

f.        Antipiretik yang mempunyai reseptor di hipotalamus dapat meregulasi suhu tubuh sehingga tubuh dapat diupayakan mendekati suhu normal.
Diagnosa 4: Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan organiseme virulen

Kriteria hasil : tidak terjadi penyebaran infeksi kepada orang lain
Intervensi
Rasional
a.       Tempatkan anak pada ruangan khusus

b.      Pertahankan ruangan isolasi social yang ketat dirumah sakit
c.       Ajarkan dan anjurkan kepada anak agar menutup mulut pada saat batuk dan membuang secret pada sputum pot yang disediakan

d.      Pakailah alat pelindung diri pada saat melakukan kontak dengan anak

e.       Kolaborasi pemberian terapi antibiotic untuk mengatasi infeksi
a.       Untuk meminimalkan penyebaran infeksi

b.      Untuk menjalankan peraturan rumah sakit yang berlaku

c.       Untuk mengurangi penyebaran infeksi

d.      Untuk meminimalakan penyebaran infeksi

e.       Antibiotic digunakan untuk membunuh kuman.
Diagnosa 5: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan peningkatan metabolism dan asupan yang kurang

Kriteria hasil : Volume cairan terpenuhi yang ditandai dengan membrane mukosa yang lembab, turgor kulit yang baik, produksi urin yang normal, dan tanda-tanda vital dalam batas normal.

Intervensi
Rasional
a.       Kaji tanda tanda dehidrasi (membrane mukosa kering, turgor kulit kurang elastis, produksi urin turun, frekuensi denyut jantung dan pernapasan meningkat, serta tekanan darah turun)

b.      Pantau asupan dan pengeluaran

c.       Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan memberikan cairan via oral maupun parenteral

a.       Informasi ini menentukan data dasar kondisi pasien dan memandu intervensi keperawatan

b.      Untuk membantu perkiraan keseimbangan cairan pasien

c.       Tindakan ini dapat mendorong partisipasi pasien dan pemberi asupan perawatan serta meningkatkan control pasien


















BAB III
KESIMPULAN

Difteri merupakan penyakit infeksi yang dapat menyerang pada saluran napas bagian atas disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Pada difteri faring dan tonsil, jika penyakitnya ringan hanya akan menimbulkan nyeri telan, tidak ada pembentukan pseudomembram, penyakit akan sembuh dengan sendirinya dan dapat membentuk kekebalan tubuh. Jika penyaktnya berat, maka sering ditandai dengan  tanda dan gejala seperti demam ringan, batuk, pilek, hidung mengeluarkan cairan bercampur darah, lesu, pucat, nyeri kepala, anoreksia, mual dan muntah, sehingga anak kelihatan sangat lemah, pembekakan pada tenggorokan, nyeri telan. Anak dapat tersedak karena kelumpuhan saraf menelan atau pallatum mole dan suara serak. Penatalaksanaan  pasien perlu dirawat obat yang diberikan untuk mengatasi penyakit difteri yaitu antiphtheria serum (ADS), antibiotik, dan kortikosteroid.




























DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, E Marrlyn dkk. 2010. Rencana Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta : EGC
Hidayat, A. Aziz. 2010. Pengantar Ilmu Keperawtan Anak. Jakarta : Salemba Medika
Marni. 2016. Asuhan Keperawatan Anak Pada Penyakit Tropis. Jakarta : Erlangga
Sumarmo. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta : FKUI